Presiden Joko Widodo menyampaikan arahannya pada acara Pencanangan Sensus Ekonomi 2016 di Istana Negara, Jakarta, Selasa (26/4). Badan Pusat Statistik akan melakukan Sensus Ekonomi 2016 mulai tanggal 1-30 Mei 2016 kepada seluruh pelaku usaha di Indonesia. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/16.

Jakarta, Aktual.com — Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang masif melakukan penandatangan kerja sama dengan banyak negara perlu juga dievaluasi. Pasalnya kerja sama dari pemerintah sebelumnya tidak seutuhnya menguntungkan Indonesia.

Belum lama ini, kunjungam Jokowi ke Uni Eropa diakhiri dengan penandatanganan kerja sama berupa Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Sebelumnya Jokowi juga memastikan kerja sama dengan negara maju seperti Amerika Serikat cs dalam Trans Pasific Partnership (TPP).

Padahal, kerja sama-kerja sama tersebut belum tentu menguntungkan. Sehingga akan menjadi masalah baru jika setiap kerja sama diasumsikan selalu menguntungkan.

“Jangan selalu diasumsikan setiap kerja sama itu akan menguntungkan kita. Termasuk juga terkait CEPA ini. Itu pemikiran yang salah,” tandas Peneliti CORE Indonesia, Mohammad Faisal di Jakarta, Rabu (27/4).

Menurut dia, banyak persepsi yang tidak pas dari pemerintah dengan adanya kerja sama akan mudah akan ekspor produk ke negara tersebut. Padahal kenyataannya beberapa kerja sama, Indonesia kerap hanya menjadi pasar besar.

“Makanya, saya tegaskan harus ada negosiator ulung, yang tidak hanya berunding soal kerja sama perdagangan, tapi bagaimana kita bisa untung besar dengan kerja sama itu,” papar dia.

Isu yang menarik dengan adanya kerja sama CEPA ini adalah dengan negara Prancis. Belum lama ini Prancis mewacanakan akan memberlakukan bea masuk atau pajak impor tambahan terhadap produk-produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya asal negara lain, termasuk dari Indonesia.

“Kebijakan Prancis seperti harus dapat dirundingkan. Jika CPO dan turunannya susah masuk ke sana, apa kompensasinya? Kita harus tegas jangan kita mengikuti kepentingan mereka, tapi kepentingan nasional kita tergadaikan,” papar dia.

Apalagi, lanjut dia, untuk ekspor CPO memang dari Indonesia masih yang terbaik, tapi untuk produk turunan CPO, produk Indonesia kalah jauh dari Malaysia atau negara produsen CPO lainnya.

“Padahal produk turunan CPO yang bernilai tambah itu yang sangat dipentingkan untuk ekspor ke negara maju seperti Eropa itu,” cetus dia.

Pasalnya, selama ini ekspor Indonesia ke Uni Eropa didominasi oleh produk konoditas yang bernilai tambah rendah. Selain itu, produk-produk unggulan yang diekspor ke sana pun terhsmbat oleh tarif bea masuk yang tinggi.

“Hal-hal seperti itu harus dapat dirundingkan, sehingga bisa menguntungkan kita. Bukan hanya rajin meneken kerja sama saja,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka