Jakarta, Aktual.com — Keberadaan jutaan hektar tanah kerajaan di provinsi DI Yogyakarta yang dikenal dengan sebutan Sultanaat Gronden (SG) dan Pakualamanaat Gronden (PAG) kini menjadi wacana perdebatan, sebagian pihak menilai klaim SG dan PAG adalah bentuk perampasan hak warga atas tanah yang dilakukan secara sistematis.
“Hari ini persoalannya orang banyak yang tidak tahu bahwa SG dan PAG sudah tidak ada, banyak hal yang dipelintir oleh pihak Keraton sekarang,” ujar Kus Sri Antoro, peneliti dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris, kepada Aktual.com ditulis Minggu (1/5).
Setidaknya, lanjutnya, terdapat dua hal utama yang mendasari ketidakberlakuan tanah SG dan PAG saat ini. Pertama, pasca meleburnya Kesultanan dan Pakualaman Yogyakarta ke dalam NKRI tahun 1945, melahirkan konsekuensi otomatis bahwa kedua kerajaan tersebut harus tunduk dibawah Undang-undang negara Republik Indonesia.
Kedua, permintaan HB 9 sendiri yang menginginkan sistem agraria di Yogyakarta diberlakukan sama dengan daerah lain di Indonesia, menyesuaikan UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960 yang berlaku secara nasional, serta Diktum IV UU No 5/1960 perihal penghapusan Rijskbald No 16 & 18 tahun 1918, sebuah aturan agraria peninggalan kolonial Hindia Belanda di masa pemerintahan HB 7 yang mengatur perihal “tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan menurut hak eigendom (hak milik) adalah milik kerajaan.” Rijksbald inilah yang menjadi salah satu rujukan pihak Kesultanan dan Pakualaman saat ini untuk mengklaim tanah SG dan PAG.
Kemudian, atas permintaan HB 9 tersebut, Presiden RI mengeluarkan Keputusan No 33 tahun 1984, sebagai pemberlakuan secara penuh UU Pokok Agraria di Yogyakarta serta dikuatkan kembali dengan Perda DIY No 3 tahun 1984.
Kus menilai, Keraton Yogyakarta dulu yang dibentuk oleh VOC melalui Perjanjian Giyanti tahun 1755, berbeda dengan Keraton pada saat sekarang yang didasarkan pada UU Keistimewaan tahun 2012. Keduanya merupakan dua entitas kekuasaan yang tidak sama. “Sejak tahun 1945, tidak ada lagi daerah swapraja di DIY dimana tanah Keraton hanya sebagai tanah yang dipinjamkan pemerintah kolonial Hindia Belanda,” tambah Kus.
UU Keistimewaan DIY yang kemudian diterbitkan tahun 2012, menurut dia, menjadikan Kesultanan dan Pakualaman hanya sebagai warisan budaya bangsa yang turun-temurun. Artinya, keduanya bukan lagi lembaga pemerintahan selayaknya kerajaan yg dulu. Dalam penjelasan Undang-undang ini, ‘keistimewaan’ dimaknai untuk tidak menghidupkan lagi nilai-nilai dan praktik feodalisme, melainkan sebagai upaya menghormati, menjaga dan menggunakan kearifan lokal yang telah mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat Yogyakarta.
“Menghidupkan kembali Rijksbald adalah bentuk praktik feodalisme dan UU Keistimewaan dijadikan legitimasi pihak Keraton agar mereka dapat mengklaim tanah seluruhnya, termasuk HGB dan hak pakai diatas tanah negara. Ini permasalahan serius!” jelasnya mengingatkan.
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis
Eka