Keberadaan pemukiman masyarakat di pinggir kali Angke, Muara Angke, Jakarta Utara memberikan warna tersendiri. Masyarakat yang rata-rata adalah warga pendatang ini telah lama tinggal di sepanjang pinggir sungai lengkap dengan perahunya yang bersandar seusai melintas ke muara terakhir dari sungai Ciliwung ini.

Jakarta, Aktual.com — Profesi nelayan yang termasuk profesi berisiko tinggi, tentu saja harus dapat terlindungi dari segala dampak bahayanya melalui skema perlindungan asuransi.

Apalagi sejak Maret lalu, DPR sudah mengesahkan UU tentang Perlindungan, Pemberdayaan Nelayan, Pembudidayaan Ikan, dan Petambak Garam. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak melindungi sektor informal, seperti nelayan dan profesi serupa lainnya.

“Sebelum dilindungi asuransi komersial, para nelayan itu dalam melakukan aktifitasnya harus terlebih dahulu sudah mendapatkan perlindungan dasar, salah satunya dari BPJS Ketenagakerjaan,” ucap Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Nasional (PKJSN), Ridwan Max Sijabat, di Jakarta, Senin (2/5).

Sejauh ini, selain UU yang baru tersebut, sudah ada kewajiban pemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada seluruh rakyatnya seperti yang diamanatkan dalam UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Selain itu ada juga, UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Maka peran BPJS Ketenagakerjaan itu, menurut Ridwan, sudah sangat jelas untuk melindungi seluruh pekerja baik formal maupun informal, termasuk kalangan nelayan dalam perlindungan sosial. Sepwrti terkait jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JK), jaminan hari tua (JHT), dan juga jaminan pensiun.

“Jadi, pemerintah memang wajib memberikan perlindungan dasar kepada seluruh warganya,” tandas Ridwan.

Kondisi yang lebih konkret lagi, setelah ada UU ini, pemerintah wajib mengalokasikan anggaran untuk melindungi nelayan, penambak ikan dan garam dalam skema asuransi itu.

Apalagi diamanatkan, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bakal menganggarkan dana sebesar Rp 250 miliar untuk memberikan perlindungan berupa asuransi kepada satu juta nelayan.

“Itu amanat UU, dengan adanya perlindungan ini, maka ke depannya harus mendapatkan kesejahteraan nelayan,” ujar Ridwan.

Saat ini, ada sekitar 3,6 juta nelayan dalam kategori nelayan modern yang berasal dari nelayan yang bekerja di perusahaan asing atau lokal. Sementara untuk nelayan tradisional lebih banyak lagi.

“Apalagi dari total 96,7 juta orang miskin di Indonesia kebanyakan berprofesi nelayan. Ini terjadi karena kesejahteraan nelayan belum ada,” kata dia.

Untuk itu, Ridwan berharap, pemerintah dalam menyusun peraturan pemerintah (PP) mengenai peraturan pelaksanaan UU baru tersebut, juga mengacu pada aturan yang sudah ada, yakni UU SJSN dan UU BPJS. Salah satunya mengenai perlindungan terhadap pekerja informal termasuk di dalamnya nelayan dan petambak ikan serta garam.

“Jadi, tidak ada UU yang berlawan satu dengan yang lainnya,” pungkasnya.

Karena selama ini, risiko nelayan mendapat kecelakaan kerja bahkan sampai meninggal dunia dalam menjalankan aktivitasnya sangat besar. Untuk itu, sudah saatnya, seluruh nelayan di Indonesia mendapatkan perlindungan dari BPJS Ketenagakerjaan.

Ridwan juga meminta kepada BPJS Ketenagakerjaan untuk proaktif melakukan sosialisasi mengenai manfaat yang diterima nelayan jika mereka menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

“Jika mereka tahu mengenai manfaat yang sangat besar untuk dirinya dan keluarga dengan berbagai program dari BPJS Kenagakerjaan, tentu mereka akan tertarik menjadi pesertanya,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka