Jakarta, Aktual.com — Direktur Eksekutif Masyarakat Peduli Listrik (MPL) Tomy Radja menyesalkan kinerja PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) selama ini yang mengklaim jika pertumbuhan listrik nasional mencapai 8,5 persen pertahun atau tumbuh 5.700 Mega Watt (mw) dalam tiap pertumbuhan ekonomi 6,5 sampai 7 persen.

Tetapi setelah ditelusuri MPL ujar Tomy kebenaran atas klaim pertumbuhan itu tidak sesuai dengan fakta yang ada. Seperti yang terjadi pada pelanggan di wilayah Sumatera, dimana pemutusan pemutusan listrik secara rutin kerap terjadi.

Tomy mengatakan penelusuran diukur di wilayah Sumatera mengingat warganya sangat intens menggunakan listrik ketimbang wilayah timur Indonesia. Selain itu jumlah penduduknya terbanyak setelah Pulau Jawa.

“Namun, nyaris bisa dikatakan pasca reformasi 1998, atau terminimal 10 tahun terakhir masyarakat seperti di kota-kota besar seperti Banda Aceh, Binjai, Medan, Tanah Karo, Porsea, Balige, Siborongborong, Tarutung, Sidempuan, Sibolga, Padang, Pekanbaru dan lainnya sampai hari ini masih kerap mengalami pemutusan listrik secara rutin,” jelas Tomy di Jakarta, Selasa (3/5/2016).

Ironisnya sambung dia disaat warga aktif membayar dalam bentuk pulsa token seminggu sekali atau sebulan sekali. Namun pemadaman secara bergilir kerap terjadi, bahkan pemadaman terjadi antara 2 sampai 3 kali sehari dengan durasi mati 3 jam sampai 7 jam.

“Ini menggelitik bagi kami untuk mengetahui mengapa peningkatan pertumbuhan listrik itu tidak berkorelasi lurus terhadap berkurangnya durasi byar-pet itu,” sesal Tomy.

Dengan instrumen yang dimiliki PLN, kata Tomy asumsi MPL seharusnya PT. PLN tidak akan sulit memasarkan pertumbuhan listrik tersebut. Namun ternyata asumsi itu tidak sepenuhnya benar.

“Realita sementara yang dikumpulkan oleh tim investigasi MPL membuktikan bahwa ada 3 faktor penyebab mengapa rakyat masih belum mendapatkan haknya atas energi listrik yakni, pertama dalam kurun 10 tahun lalu segala perencanaan pendistribusian energi listrik kepada masyarakat tidak maksimal direalisir pucuk managemen yang kemudian mengalir ke level bawah bagaikan aliran air. Ini terjadi sampai pada masa kepemimpinan Dahlan Iskan. Efeknya, iya tetap byarpet,” ucap Tomy.

Kedua sambung dia, ternyata keinginan pemerintah pusat bersama dengan DPR RI untuk meratakan penikmat listrik ditambah dengan tuntutan masyarakat, tapi pada kenyataannya tidak bersambut dengan baik dilevel pemerintah daerah baik level provinsi apalagi kabupaten atau kota.

“Perilaku ‘penentangan’ terhadap misi pelayanan rakyat tersebut beragam. Dari mulai yang biasa yakni tidak dengan tegas mendukung sampai dengan tidak mengizinkan jikalau tanah milik penguasa daerah akan dilalui oleh pembangunan PT. PLN. Padahal itu untuk rakyatnya. Bahkan ada penentangan yang tidak lazim dengan menggunakan instrumen peraturan daerah (Perda) di Indragiri Hulu, provinsi Riau,” tutur dia.

Yang sangat memiriskan kata Tomy justru karena faktor dari segelintir masyarakat itu sendiri. Ada karena posisi sosial ekonominya bahkan karena keluarganya adalah penguasa daerah.

“Ini yang menjadi agak membuat posisi masyarakat kebanyakan menjadi tidak dapat menikmati listrik,” ujar dia.

“Jadi, menurut kami, belum selaras antara keinginan rakyat banyak untuk mendapatkan hak-nya atas energi listrik yang kemudian diupayakan pemerintah bersama DPR RI dengan mental model pejabat daerah serta segelintir orang yang beruntung bisa membiayai listrik bagi kehidupannya menggunakan mesin genset dan lainnya,” ucap dia

Tantangan yang sedemikian kata dia sangat memalukan, hal itu seharusnya bisa dikikis habis oleh seluruh tingkatan pemerintah dan penegak hukum apalagi Presiden Joko Widodo sudah mengeluarkan Perpres nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

“Masa perhatian besar dari kepala negara tidak direalisir kepala daerah yang tidak memahami hak rakyat tersebut? Instrumen hukum negara seharusnya secara otomatis bergerak bersama atas pembangkangan terselubung itu dong,” pungkas dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs