Yuyun dan Ibunya (Foto:bbc.com)

Yogyakarta, Aktual.com —Peristiwa tindak pemerkosaan brutal dan pembunuhan yang dilakukan 14 orang pria terhadap seorang siswi SMP berinisial YY di Padang Ulak Tanding, Rejang Lebong, Bengkulu, mengundang keprihatinan dan duka yang mendalam dari Ikatan Pelajar dan Mahasiswa (IKPM) Provinsi Bengkulu DI Yogyakarta.

“Kejadian ini merupakan pukulan telak bagi Pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Bengkulu yang kini dipimpin Ridwan Mukti. Kami IKPM Bengkulu DIY turut berduka yang sedalam-dalamnya,” ujar Artha Wijaya, Koordinator IKPM Bengkulu di Yogyakarta, Kamis (5/5).

Satu hal yang menjadi perhatian penting dalam kasus YY adalah peristiwa itu terjadi disaat para pelaku berada dibawah pengaruh alkohol. Menurut pihak Kepolisian Polsek Padang Ulak Tanding, sebelum melakukan perbuatan tak bermoral tersebut para pelaku diketahui tengah berpesta minuman keras, menghabiskan 4 liter minuman keras berjenis tuak.

Untuk itu, RUU Larangan Minuman Beralkohol yang berisi perihal larangan produksi, perdagangan, hingga konsumsi minuman beralkohol terus dimatangkan di Badan Legislasi DPR. Pasal 3 Bab I RUU ini berisikan tujuan larangan minuman beralkohol dengan tujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan, menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol, serta menciptakan ketertiban dan ketenteraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol.

Sementara ancaman pidana yang diusulkan bagi konsumen dalam Bab VI pasal 17 yakni 3 bulan kurungan dan maksimal 2 tahun, sedangkan denda yang dikenakan sebesar Rp 10 juta hingga maksimal Rp 50 juta yang diatur dalam pasal 18. Kemudian, di Pasal 19 diatur jika peminum mengganggu ketertiban umum atau mengancam keamanan orang lain dipidana paling sedikit 1 tahun, paling lama 5 tahun dan denda minimal Rp 20 juta dan maksimal Rp 100 juta.

“Pasca kejadian ini kita ingin Provinsi Bengkulu sekarang bebas dari minuman keras, kita dukung pemerintah menerbitkan aturan-aturan pelarangan miras seperti Perda maupun RUU Miras. Berantas miras!” tegas Artha.

Pendapat sedikit berbeda disampaikan Iroy Wahyuni dari Social Movement Institute, menurut dia, di banyak kasus kejahatan atau kekerasan seksual, niat pelaku untuk melakukan kekerasan sudah lebih dulu muncul sebelum pelaku mengkonsumsi minuman beralkohol.

“Miras hanya menjadi semacam stimulan saja, yang lebih penting adalah pikiran kita yang akan mempengaruhi perilaku kita selanjutnya, jangan sampai karena pelaku terbukti dalam pengaruh alkohol maka hukumannya jadi lebih ringan, dianggap melakukan kekerasan tanpa disadari,” ujar Iroy, mengingatkan.

Komnas Perempuan mencatat, sejak tahun 2001 sampai 2012, terdapat setidaknya 35 perempuan di Indonesia yang menjadi korban kekerasan setiap harinya. Dibanding 3 tahun terakhir, catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2013 hingga 2015 kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan kasus kekerasan tertinggi ketimbang kasus kekerasan lainnya, dengan persentase 56 %.

Sepanjang tahun 2015, catatan tahunan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa terdapat 6.499 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, dimana bentuk kekerasan seksual merupakan perkosaan sebanyak 72 % atau 2.399 kasus, pencabulan 18 % atau 601 kasus serta pelecehan seksual 5 % atau 166 kasus. Komnas Perempuan memandang maraknya kekerasan seksual mengharuskan Indonesia segera mensahkan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

“Selama ini UU Penghapusan Kekerasan Seksual hanya masuk saja dalam Prolegnas, tapi tidak kunjung disahkan, masak dari dulu kita hanya melihat kenaikan angka statistik kekerasan saja tanpa pernah ada penyelesaian yang serius,” kecam Iroy.

Dia menekankan, terkait permasalahan miras ini memang perlu ada pengaturan atau perubahan yang dilakukan, namun tidak menjadikan miras sebagai kambing hitam dalam kasus kekerasan seksual, perlu ada kontrol dan distribusi terkait minuman beralkohol. Bagaimana pun juga kasus kekerasan seksual bermula dari niat pikiran si pelaku. Pria maupun wanita keduanya berpotensi menjadi pelaku dan korban, semua orang bisa berpotensi.

Hukuman setimpal sudah selayaknya dijatuhkan pada para pelaku tindak pemerkosaan brutal dan pembunuhan terhadap YY. Iroy menuntut pemerintah segera membentuk tim penanganan khusus untuk pemulihan psikis dan sosial serta pendampingan hukum bagi keluarga YY dan korban-korban kekerasan seksual pada umumnya.

“Dalam proses hukum kasus YY selanjutnya Pemkab Bengkulu harus berikan jaminan keamanan bagi keluarga, teman korban, saksi juga pendamping,” kata dia.

Kecaman juga disampaikan pada Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Sebagai seorang figur negara dan pejabat pemerintahan, akan sangat terlihat konyol jika tidak mengetahui kasus YY yang tengah menjadi keprihatinan masyarakat luas. Kasus ini pun telah diangkat oleh semua jenis media massa di Indonesia.

“Nggak usah jadi menteri aja deh sekalian, dia (Puan) dibayar sama negara tapi kasus sensitif seperti ini aja nggak update. Tapi pemerintah memang banyak sih figur-figurnya yang ngawur,” sindir Iroy.