Yogyakarta, Aktual.com — Pasca kasus YY siswi SMP 5 Satu Atap Padang Ulak Tanding, Rejang Lebong, Bengkulu yang diperkosa 14 kawanan pemuda, silang pendapat pelaksanaan hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual terutama pada anak dibawah umur kian memicu perdebatan. Banyak pihak menganggap kebiri harus diterapkan, beberapa pihak menilai kebiri bukan substansi pencegahan dalam kasus kejahatan seksual.

“Menurut saya kebijakan penerapan hukuman kebiri ini harus dilihat secara lengkap dan bijaksana, jangan hanya karena dipicu reaksi atas kasus YY saja, itu tidak akan menyelesaikan masalah,” ujar Prof Muzakkier, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, kepada Aktual.com di Yogyakarta, Minggu (8/5).

Dengan tidak mengurangi rasa duka yang mendalam terhadap keluarga korban YY dan korban kekerasan seksual yang lain, Muzakkier menilai, pemangku kebijakan yang saat ini memegang peranan perihal boleh-tidaknya hukuman kebiri diterapkan pada para pelaku, untuk tidak berlaku spontan atau reaktif sehingga mengambil keputusan secara pragmatis. Artinya, norma hukum yang akan diterapkan harus dirancang bangun untuk periode jauh kedepan. Jangan sampai hukuman kebiri yang saat ini terkesan menyelesaikan masalah, justru menimbulkan masalah yang lebih serius di masa yang akan datang.

“Jika hukuman ini diterapkan maka di masa depan akan ada banyak orang yang dikebiri atau dimatikan hasrat seksualnya. Padahal yang salah itu kan perilaku seksual yang menyimpang, bukan hasrat seksualnya sebagai manusia. Mohon dipahami secara benar,” tegas Muzakkier.

Yang lebih penting menurut dia adalah bagaimana mencegah hasrat seksual seseorang menjurus kepada sesuatu yang menyimpang, salah satunya hasrat seksual terhadap anak dibawah umur. Sebagai pribadi yang beragama, secara normatif, sudah sewajibnya masyarakat Indonesia memupuk keimanan sesuai keyakinan agamanya masing-masing baik itu secara personal maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat kolektif.

Pemerintah yang memiliki fungsi kontrol atas masyarakat juga harus dengan tegas kembali diingatkan tentang apa saja yang sudah dilakukan demi mencegah kemungkinan seseorang menggairahkan hasrat seksual mereka secara menyimpang.

Dalam hal ini, Muzakkier melihat semakin mudahnya masyarakat mengakses konten porno baik itu dari smartphone maupun televisi menjadi salah satu sumber masalah yang berperan besar menggeser mindset seseorang yang sebelumnya berperilaku seksual secara normal, berubah menjadi sesuatu yang menyimpang.

“Jangan bereaksi ketika kejahatan sudah terjadi, jika ingin mencegah lakukanlah jauh sebelumnya. Pornografi harus dibasmi lebih dulu, kalau itu sudah dilakukan maksimal tapi masih ada barulah bicara penghukumannya seperti apa, sudah maksimal belum?” sindir Muzakkier.

Dia kemudian menganalogikan hasrat seksual dengan kodrat manusia yang lain seperti hasrat kebutuhan akan makan. Dikatakan bahwa banyak orang mencuri karena untuk kepentingan makan, karena lapar dan sebagainya. Pelaku pencurian tersebut tidak serta merta dihilangkan keinginan laparnya atau dibikin orang tersebut tidak lapar.

“Sekarang ada orang hasrat mencuri, banyak orang mencuri karena untuk kepentingan makan mereka. Pertanyaannya hasrat makan karena lapar mereka apa harus dimatikan juga? kan tidak. Makan itu kodrati begitupun seksual. Jika itu dimatikan apa nggak bertentangan dengan kodrat Tuhan? sedangkan kita masyarakat Indonesia masyarakat yang beragama. Ini pertanyaan pokok menurut saya,” kata dia.

Data-data statistik kejahatan seksual yang semakin meningkat tiap tahunnya terhadap perempuan juga anak-anak yang dipaparkan Komnas Perempuan maupun Komisi Perlindungan Anak, menurut Muzakkier tidak dapat dijadikan pembenaran diterapkannya hukuman kebiri.

Melainkan, sebagai tamparan pada pemerintah yang memiliki peran dalam mengendalikan dan menekan laju kejahatan seksual. Sekaligus sebagai pemicu masyarakat luas untuk lebih membentengi diri serta melindungi keluarga dan kerabat terhindar dari tindak-tindak kejahatan seksual. Karena ironisnya, mayoritas pelaku kejahatan seksual adalah orang-orang terdekat korban.

“Sekarang kita tunggu hasil penyidikan Kepolisian dalam kasus YY seperti apa. Perkosaan yang diakhiri dengan pembunuhan itu termasuk kejahatan berat, apalagi meninggalnya korban adalah sesuatu yang dikehendaki atau disengaja, ini bisa hukuman mati,” tegas Muzakkier.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis