Jakarta, Aktual.com — Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) mengamati bahwa saat ini hubungan perdagangan antara Indonesia dan China terjadi kesenjangan dan berat sebelah, China lebih banyak meraup untung dengan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai pasar ekspor mereka dan Indonesia mengalami defisit.
Ekonom INDEF, Eko Listiyanto menjelaskan selama ini dalam hubungan mitra dagang dengan negeri Tirai Bambu itu, Indonesia mengandalkan komoditas tambang layaknya batu bara menjadi bahan ekspor, namun sejak ekonomi China mengalami perlambatan, maka permintaan komoditas tersebut mengalami penurunan.
Sedangkan di sisi lain impor Indonesia dari China mengalami peningkatan lantaran barang perdagangannya berupa produk barang jadi seperti tekstil, alat otomotif dan sebagainya.
“Kita berdagang komoditas primer, tambang, batubara, karet. Ketika pertumbuha China turun tahun ini 6,5 persen sehingga permintaan kurang dan kita anjlok minus 20 persen dagangan kita, Implikasinya adalah ekspor kita turun. Cuma impornya luar biasa naik, produk tekstil dan sebagainya. Dari situ kalau dikomparasi, lebih banyak impor dari China dan ini membuat defisit Indonesia,” papar Eko di Gambir, Jakarta, Senin (5/6).
Dia menambahkan, melonjaknya permintaan dalam negeri terhadap produk China bukan berdasarkan kualitas yang lebih unggul dari produk lokal, namun tidak lain dari sisi aspek harga yang lebih terjangkau. Dari itu dia menyarankan pemerintah agar mampu mendorong industri dalam negeri untuk mengefisienkan biaya produksi agar mampu kompetitif denga pasar global.
“Saya rasa kekuatan China unggul dengan harga murah. Dalam negeri kita punya kualitas dengan China. Cuma harga saja, pemerintah harus berusaha supaya harga kompetitif tapi kualitas unggul kita,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan