Jakarta, Aktual.com — Proyek Pembangunan 35.000 MW Listrik tidak ubahnya seperti layaknya pembagian Kue dan hanya berorientasi pada kepentingan bisnis yang tersembunyi di balik program kerja, hal ini dikemukakan oleh Peneliti Publish What Your Pay (PWYP), Wiko Saputra.

Menurut Wiko, dari program 35.000 MW terdapat 20.000 MW diproyeksi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara, sehingga program ini syarat ditunggangi oleh berbagai perusahaan yang bergerak di sektor batubara untuk memasok kebutuhan pembangkit tersebut.

“Saya ngak bilang bahwa perusahaan yang dapat order batubara yang deket dengan kekuasaan, tapi bisa dilihat datanya, semua jelas kan, ya lihat datanya ada perusahaan Adaro, Bukaka, Medco. Kan bisa dilihat perusahaan yang menang tender. Hampir semua yang dekat dengan kekuasaan juga. Ada juga yang dari tiongkok, tapi kan tiongkok sebagai investor aja, pemain di depannya tetap saja lingkarang kekuasaan,” kata Wiko di Jakarta, Selasa (10/5).

Sebelumnya Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menuding Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mendalangi kerusakan lingkungan melalui motif bisnis tambang batubara dengan menyusup sejumlah pembangunan pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara kedalam program pembangunan listrik 35.000 MW.

Koordinator Jatam, Hendrik Siregar mengemukakan dari 42 PLTU yang sudah beroperasi saat ini, telah memberi dampak polusi udara yang mematikan, belum lagi dampak negatif kerusakan bentang alam pada setiap wilayah pertambangan .

“saat ini dari 42 PLTU yang sudah beroperasi di Indonesia telah menghasilkan polusi udara yang mengeluarkan polutan berbahaya jenis Merkuri serta Arsenik. Belum lagi ditambah dengan kerusakan bentang alam akibat perluasan tambang  batubara di konsesi-konsesi tambang di berbagai wilayah Indonesia,” kata Hendrik, Selasa (10/5).

Lebih lanjut Hendrik menceritakan bahwasanya permainan JK menggunakan skema semacam itu telah dimulai sejak lama, ketika beliau menjadi Wakil Presiden pertama kali mendampingi SBY, beliau menggawagi proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik (Fast Track Program/FTP) 10.000 MW.

Setelah SBY terpilih menjadi Presiden untuk kedua kalinya dan tidak lagi bersama JK, maka tidak ada lagi proyek pembangunan listrik berbasis batubara, kecuali hanya menyelesaikan sisa proyek sebelumnya. Namun ketika JK kembali jadi Wapres, program ini kembali ada bahkan lebih besar dari sebelum.

“Jadi kita bisa melihat di situ kepentingannya apa, dulu waktu dia jadi Wapres tahap pertama, banyak dana-dana investasi dari China untuk proyek itu. Ini mengulang hal yang sama ketika kita lihat investasi China makin meningkat, artinya JK sendiri memiliki kedekatan kebijakan dan politik dengan China, dan ini terjadi lagi, ini tidak terlepas dari proyek yang dia mainkan, maka kita tahu siapa kepentingan siapa yang ada dibalik proyek ini, karena kita lihat dari proyek-proyek pembangunan PLTU batubara di beberapa daerah bisa di identifikasi pihak-pihak yang dapat itu siapa aja,” bongkarnya.

Dia menyimpulkan program pembangunan listrik hanya dijadikan sebagai kedok semata dibalik dorongan nafsu meraup keuntungan dari bisnis batubara, lagipula tambahnya keinginan pemerintahan Jokowi-JK untuk menarget 95 persen penyediaan listrik pada tahun 2019, dimanfaatkan sebagai tameng, padahal Kebijakan Energi Nasional (KEN) menegaskan bahwa penyediaan elektrik 95 persen ditargetkan tercapai pada tahun 2025, sehingga target pemerintah kontras dengan kebijakan energi nasional.

Hal lain juga dikutip dari CNN Indonesia, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) meyakini kebijakan pemerintah untuk membangunan 35000 MW akan meningkatkan kembali permintaan dan pengiriman batubara di pasar domestik.

“Jadi yang punya batubara bersiap-siaplah akan banyak lagi order. Kita sudah hitung (kebutuhannya) 100 juta atau 150 juta ton kebutuhan dalam negeri (per tahun),” ujar JK di kantornya, Rabu (10/12).

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Arbie Marwan