Sejumlah siswa dan warga membentangkan poster saat aksi dukung Program Pendidikan Gratis di Blitar, Jawa Timur, Selasa (15/3). Aksi tersebut merupakan bentuk dukungan warga dan siswa kepada Pemkot Blitar terkait gugatan ke MK mengenai kewenangan antara pemerintah pusat dengan provinsi dan kabupaten/kota tentang pengelolaan pendidikan gratis di daerah itu. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/ama/16

Jakarta, Aktual.com — Aliansi Mahasiswa Indonesia (AMI) menilai keberpihakan negara kepada kemajuan rakyat Indonesia, khususnya di bidang pendidikan, sebagai mimpi buruk. Sebab dalam kenyataannya pendidikan masih saja mahal, tidak terjangkau untuk rakyat miskin.

Dalam konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, AMI yang terdiri dari beberapa elemen mahasiswa itu mengungkapkan, saat ini kurikulum pendidikan nasional masih mengacu pada kepentingan pemodal atau pengusaha. Fasilitas untuk peserta didik juga tidak cukup memadai untuk mengembangkan keilmuannya.
“Bisa dikatakan, pendidikan kita hingga hari ini tidak mampu mensejahterakan rakyat, tidak mampu membangun kemerdekaan bagi kemandirian bangsa,” tegas Jami Kuna, dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Dampak dari sistem pendidikan yang semakin hancur, lanjut dia, juga merugikan seluruh rakyat Indonesia terutama dalam hal kemiskinan. Tidak hanya itu, budaya serta cara berfikir yang terkonstruksi akibat kurikulum yang tidak lengkap atau yang tidak berkesetaraan gender membuat watak patriarkhi dan feodal.
Dua watak yang melekat dan semakin menjadi-jadi di masyarakat. Pada gilirannya, dampak dari pendidikan tersebut menyebabkan munculnya kejahatan seksual. Sebuah potret yang disebut Jami sebagai kegagalan pemerintah dalam membangun cara berfikir masyarakat.
“Ruang kebebasan mengenyam ilmu seluas-luasnya (juga) terbatas lantaran larangan yang tidak jelas dan tidak ilmiah dari pemerintah,” ucap Jami.
Pelarangan bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan protes, lanjut Jami, adalah bentuk pengekangan nalar berfikir. Hal itu adalah kesalahan terbesar bagi pemerintah. Ia menyindirnya dengan ungkapan, no kesejahteraan yes investor.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan