Jakarta, Aktual.com — Para pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) mengkritisi kebijakan pemerintah yang hanya bagus di tataran konsep, tapi masih minim implementasi.

Bahkan yang dianggap konkret dalam implementasinya, justru malah membebani kalangan pengusaha. Seperti soal perpajakan.

“Saat ini mayoritas pengusaha itu tengah bermaslah. Bahkan bisnis yang katanya di-support pemerintah pun seperti ekonomi kreatif, tetap ada masalah. Karena kebijakan pemerintah kurang mendukung pengusaha,” tandas Ketua Umum HIPPI, Suryani Motik, di Jakarta, Jumat (13/5).

Salah satu hal yang sangat ia kritisi adalah soal suku bunga perbankan yang diminta pemerintah untuk mencapai single sigit. Sementara, para pengusaha yang tergabung dalam HIPPI itu, rata-rata kalangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yang untuk mendapat kucuran kredit single digit saja masih kesusahan.

“Jadi, banyak kebijakan yang bagus, tapi hanya diniati saja. Karena implementasinya sangat kuat. Yang paling menjadi beban kami ya suku bunga single sigit. Apalagi kalau bicara daya saing, suku bunga di kita lebih tinggi dari negara-negara ASEAN,” papar dia.

Bahkan terkait suku bunga ini, Suryani juga minta ke pemerintan agar mau mengatur secara detail peran bank-bank BUMN. Selama ini, di mata HIPPI, bank BUMN masih berprilaku sama seperti bank swasta dengan menerapkan suku bunga tinggi.

“Padahal mereka itu bank pemerintah. Mestinya bisa berperan sebagai agent of development. Tapi saat ini tidak memfungsikan sebagai agen pembangunan,” tegas.

Saat ini, kalangan pengusaha yang tergabung dalam HIPPI yang rata-rata UKM itu mendapat suku bunga dari perbankan sebesar antara 15-16 persen, sedang ketika mereka mengakses pendanaan dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), bisa mendapat suku bunga lebih dari 20 persen.

“Makanya kami minta pemerintah dorong agar para UKM ini semakin mudah mendapat kucuran pendanaan. Apalagi katanya ada KUR (Kredit Usaha Rakyat), maka kami mestinha dapat juga KUR yang bunganya single digit,” keluh dia.

Namun faktanya, kata dia, banyak UKM dari HIPPI yang secara bisnis feasible, tapi malah ditolak oleh perbankan.

“Padahal, masyarakat kecil atau UKM enggak terbiasa dengan bank besar dengan masuk gedung, sementara BPR ini yang berhubungan langsung ke masyarakat dan menjemput bola,” kata Suryani.

Lebih jauh dia juga mengeluhkan sistem perpajakan yang dianggapnya masih membebani kalangan pengusaha. Salah satunya pajak ekspor.

“Lucunya, kalau pajak ekspor tiba-tiba naik. Katanya pemerintah mau menggenjot devisa. Lebih parahnya lagi, saat ini diumumkan, besoknya diberlakukan,” kecam dia.

Padahal, dalam bisnis itu sudah menandatangani kontrak kerja sama dalam waktu panjang. Sehingga pajak yang semula tidak menjadi beban, malah masuk kompinen risiko bisnis selanjutnya.

“Yang ada, kompetitor kita itu malah negara, bukan pebisnis lain. Itu nelas menambah high cost kami,” pungkas dia.

HIPPI sendiri akan melakukan Musyawarah Nasional pada 15 Mei dan 16 Mei 2016, dimana isu-isu yang memberatkan‎ pengusaha UKM akan disampaikan kepada pemerintah agar mendapatkan solusinya.‎

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan