Yogyakarta, Aktual.com — Kakek Indra Azwan (57), seorang penjual koran di Kota Malang, yang menuntut keadilan hukum atas kematian anak laki-lakinya yang ditabrak lari oleh oknum polisi 23 tahun silam hingga hari ini masih terus ia perjuangkan.
Jumat (13/5), dengan menenteng spanduk bertuliskan kalimat tuntutan terhadap Presiden Jokowi, Indra tiba di Yogyakarta dalam aksi protes jalan kakinya seorang diri keliling Indonesia.
“Anak saya dihilangkan nyawanya oleh oknum polisi bernama Joko Sumantri 23 tahun lalu, tapi hingga kini proses hukumnya berbelit-belit, penuh sandiwara dan kebohongan, bahkan saat ini Badrodin Haiti melindunginya,” kecam Indra, di komplek Kepatihan Yogyakarta, Jumat (13/4).
Diketahui bahwa, Kapolri Badrodin Haiti pernah menangani perkara tersebut pada tahun 2010 saat menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur.
Dituturkan Indra, kejadian bermula di tahun 1993 silam. Rifki Andika, anaknya yang berusia 12 tahun saat hendak menyeberang jalan ditabrak lari hingga tewas seketika oleh seorang oknum polisi yang mengendarai mobil di daerah Malang, Jawa Timur. Polisi tersebut diketahui bernama Joko Sumantri, bergelar sarjana hukum berpangkat Letnan Satu yang hingga kini masih aktif bertugas di Polres Blitar.
Pasca peristiwa tragis itu, pihak kepolisian baru melakukan penyidikan kasus tabrak lari itu 11 tahun kemudian, yakni di tahun 2004. Lalu, sidang pertama juga dilangsungkan 2 tahun setelahnya pada tahun 2006, kemudian sidang kedua kembali dilakukan berselang 2 tahun (2008).
“Persidangan model apa ini? sidang pertama dan kedua jaraknya 2 tahun kan nggak masuk akal, aturannya kan cuma 2 minggu. Putusan hakim di sidang kedua (2008) juga menyatakan pelaku bebas hanya karena tuntutan dianggap kadaluarsa,” kata dia.
Oleh karena itulah, Indra menilai keadilan hukum di Indonesia tidak berlaku bagi rakyat kecil. Protes pun dilakukan dengan melakukan aksi jalan kaki keliling Indonesia. Kedatangannya di Yogyakarta, Jumat (13/5) ini merupakan aksi jalan kaki yang ke-enam kali. Aksi pertama hingga ke-empat mengambil rute Malang-Jakarta, lalu aksi ke-lima dengan rute yang luar biasa, yakni Malang-Mekkah, menghabiskan waktu 1 tahun 25 hari antara tahun 2012 dan 2013.
“Setelah ini saya akan ke Semarang, Surabaya, terus ke Kalimantan. Saya melakukan ini untuk protes ke pemerintah, tolong diperhatikan orang kecil yang mencari keadilan!” tuntut Indra.
Dalam aksinya, semua pejabat yang ada di Indonesia mulai orde baru sampai saat ini hanya mengumbar janji akan menyelesaikan kasus kematian anaknya namun tidak pernah terlaksana.
“Saya sudah bertemu 4 Presiden, 4 Kapolri dan 4 Panglima TNI tapi proses hukumnya berbelit-belit. Sekarang saya tagih janji Jokowi yang katanya pro wong cilik, akan saya tagih janji itu sampai kapanpun,” tegas Indra.
Letnan Joko Sumantri, pelaku tabrak lari, menurut Indra sampai detik ini tidak pernah sama sekali menyampaikan permintaan maaf kepada Indra maupun keluarganya. Indra mengaku, Badrodin Haiti pernah menginisiasi pertemuannya dengan Joko di Polda Jawa Timur, akan tetapi Joko tetap menolak meminta maaf.
Kembali diakuinya, di tahun 2010, Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjadi Presiden RI pernah mencoba menyogoknya untuk menghentikan aksi protes yang dilakukan, uang sebesar 25 juta Rupiah yang diberikan dikembalikan Indra ke Istana Bina Graha. Penyogokan tersebut telah dilaporkan Indra ke KPK.
“Demi nyawa anak saya, saya tetap berjuang sampai kapanpun! Saya akan berhenti jika Jokowi memanggil saya ke istana, atau Tuhan yang memanggil!,” ucap Indra.
Juli 2014, Indra yang diwakili Oditur Militer sempat mengajukan PK atas putusan pengadilan yang membebaskan Joko, tapi lagi-lagi Indra merasa dipermainkan oleh proses hukum sebab MA baru mengeluarkan salinan putusan pada bulan April 2016. Isinya, MA menolak Uji Materi yang diajukan. “Saat ini saya sedang mencoba mengajukan PK kedua,” kata dia.
Terkait hal tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Yogya yang mendampingi aksi Indra selama di Yogyakarta menyatakan Peninjauan Kembali dapat dimungkinkan lebih dari satu kali terhadap kasus yang sama, dengan pertimbangan bahwa keadilan tidak bisa dibatasi atau terhalangi oleh aturan-aturan yang bersifat formalitas.
Dituturkan Indra, kejadian bermula di tahun 1993 silam. Rifki Andika, anaknya yang berusia 12 tahun saat hendak menyeberang jalan ditabrak lari hingga tewas seketika oleh seorang oknum polisi yang mengendarai mobil di daerah Malang, Jawa Timur. Polisi tersebut diketahui bernama Joko Sumantri, bergelar sarjana hukum berpangkat Letnan Satu yang hingga kini masih aktif bertugas di Polres Blitar.
Pasca peristiwa tragis itu, pihak kepolisian baru melakukan penyidikan kasus tabrak lari itu 11 tahun kemudian, yakni di tahun 2004. Lalu, sidang pertama juga dilangsungkan 2 tahun setelahnya pada tahun 2006, kemudian sidang kedua kembali dilakukan berselang 2 tahun (2008).
“Persidangan model apa ini? sidang pertama dan kedua jaraknya 2 tahun kan nggak masuk akal, aturannya kan cuma 2 minggu. Putusan hakim di sidang kedua (2008) juga menyatakan pelaku bebas hanya karena tuntutan dianggap kadaluarsa,” kata dia.
Oleh karena itulah, Indra menilai keadilan hukum di Indonesia tidak berlaku bagi rakyat kecil. Protes pun dilakukan dengan melakukan aksi jalan kaki keliling Indonesia. Kedatangannya di Yogyakarta, Jumat (13/5) ini merupakan aksi jalan kaki yang ke-enam kali. Aksi pertama hingga ke-empat mengambil rute Malang-Jakarta, lalu aksi ke-lima dengan rute yang luar biasa, yakni Malang-Mekkah, menghabiskan waktu 1 tahun 25 hari antara tahun 2012 dan 2013.
“Setelah ini saya akan ke Semarang, Surabaya, terus ke Kalimantan. Saya melakukan ini untuk protes ke pemerintah, tolong diperhatikan orang kecil yang mencari keadilan!” tuntut Indra.
Dalam aksinya, semua pejabat yang ada di Indonesia mulai orde baru sampai saat ini hanya mengumbar janji akan menyelesaikan kasus kematian anaknya namun tidak pernah terlaksana.
“Saya sudah bertemu 4 Presiden, 4 Kapolri dan 4 Panglima TNI tapi proses hukumnya berbelit-belit. Sekarang saya tagih janji Jokowi yang katanya pro wong cilik, akan saya tagih janji itu sampai kapanpun,” tegas Indra.
Letnan Joko Sumantri, pelaku tabrak lari, menurut Indra sampai detik ini tidak pernah sama sekali menyampaikan permintaan maaf kepada Indra maupun keluarganya. Indra mengaku, Badrodin Haiti pernah menginisiasi pertemuannya dengan Joko di Polda Jawa Timur, akan tetapi Joko tetap menolak meminta maaf.
Kembali diakuinya, di tahun 2010, Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjadi Presiden RI pernah mencoba menyogoknya untuk menghentikan aksi protes yang dilakukan, uang sebesar 25 juta Rupiah yang diberikan dikembalikan Indra ke Istana Bina Graha. Penyogokan tersebut telah dilaporkan Indra ke KPK.
“Demi nyawa anak saya, saya tetap berjuang sampai kapanpun! Saya akan berhenti jika Jokowi memanggil saya ke istana, atau Tuhan yang memanggil!,” ucap Indra.
Juli 2014, Indra yang diwakili Oditur Militer sempat mengajukan PK atas putusan pengadilan yang membebaskan Joko, tapi lagi-lagi Indra merasa dipermainkan oleh proses hukum sebab MA baru mengeluarkan salinan putusan pada bulan April 2016. Isinya, MA menolak Uji Materi yang diajukan. “Saat ini saya sedang mencoba mengajukan PK kedua,” kata dia.
Terkait hal tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Yogya yang mendampingi aksi Indra selama di Yogyakarta menyatakan Peninjauan Kembali dapat dimungkinkan lebih dari satu kali terhadap kasus yang sama, dengan pertimbangan bahwa keadilan tidak bisa dibatasi atau terhalangi oleh aturan-aturan yang bersifat formalitas.
“Problemnya adalah implementasi, hukum harusnya berlaku buat siapapun, tidak hanya pada orang-orang kecil tapi juga kepada mereka yang secara kedudukan dan finansial berposisi jauh lebih baik. Hari ini kita melihat bahwa masyarakat kecil seperti Pak Indra menjadi pihak yang dirugikan atas proses penegakan hukum di Indonesia. Negara telah mengesampingkan hak-hak masyarakat miskin dan marjinal,” ujar Yogi Zul Fadhli dari LBH Yogya.
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis
Arbie Marwan