Kericuhan Polisi dan Petani Kulonprogo
Kericuhan Polisi dan Petani Kulonprogo

Yogyakarta, Aktual.com — Belum hilang dari ingatan warga petani Temon atas tragedi 17 Februari 2016, saat ribuan aparat kepolisian secara tiba-tiba datang dan melakukan kekerasan terhadap mereka dalam perapatan patok IPL bandara di wilayah Sidorejo, Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulonprogo, peristiwa serupa malah kembali terulang.

Para petani yang menolak pembangunan bandara lagi-lagi mendapat intimidasi dan kekerasan dari polisi saat proses pendataan lahan oleh tim appraisal Bandara Kulonprogo, Kamis (12/5) kemarin. Beberapa petani jadi korban pemukulan pihak aparat yang mengawal. (Baca juga: Ratusan Petani Tuntut Pembatalan Izin Pembangunan Bandara Kulonprogo)

“Kami sangat mengecam keras upaya-upaya represif yang dilakukan Polisi kemarin terhadap para petani, warga (petani) kena pukul dibeberapa bagian tubuh seperti punggung dan pipi serta puluhan lainnya di intimidasi oleh aparat kepolisian,” ungkap Yogi Zul Fadhli dari LBH Yogya, kepada Aktual.com, Jumat (13/5).

Melalui keterangan resminya, LBH mengungkap bahwa, kejadian bermula sekitar pukul 08.00 WIB. Kurang lebih 1000an personil keamanan, terdiri dari Polisi dan TNI bersama tim appraisal bandara, menggeruduk Padukuhan Sidorejo.

Mereka hendak melakukan penilaian terhadap tanah pemakaman umum di padukuhan setempat. Ratusan warga yang menentang proses tersebut kemudian berkumpul di dalam makam, berjaga-jaga sekaligus menutup rapat pintu makam membentuk blokade. Tidak berselang lama, setelah diadakan perundingan, akhirnya diputuskan hanya tim appraisal saja yang dibolehkan masuk bersama pewaris makam dan aparat seperlunya.

Blokade warga pun dibuka. Akan tetapi, ratusan aparat justru ikut merangsek masuk ke dalam makam. Sabuk pengamanan yang dibentangkan dan petani-petani yang mengepung makam justru dibubarkan aparat, dianggap tidak berkepentingan. Padahal, tanah makam tersebut berstatus hak milik para petani karena merupakan tanah hasil iuran warga. Makam tersebut juga telah lama diperingatkan warga agar tidak diusik-usik untuk pembangunan bandara. Namun tampaknya pemerintah tidak mau tahu. Alih-alih didengarkan, yang terjadi malah intimidasi dan kekerasan.

Dalam suasana ricuh, warga berlarian kocar-kacir, sejumlah petani terpojok, terkena pukulan dan tendangan pihak aparat termasuk intimidasi secara psikis.

“Polisi yang seharusnya memberi rasa aman justru menjadi tindak pelaku kekerasan, UU 39/99 tentang Hak Asasi Manusia telah dilanggar aparat kepolisian yang melakukan tindakan represif kepada para petani kemarin. Perkap Polri (No 8/09) juga tidak dipatuhi oleh mereka,” kata Yogi.

Tindak kekerasan di Padukuhan Sidorejo, Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulonprogo, semakin menunjukkan bahwa proyek pembangunan Bandara Kulonprogo hanyalah proyek ambisius yang dipaksakan Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta dengan mengorbankan kehidupan dan ruang hidup ratusan petani. LBH Yogya kembali menegaskan penolakannya atas rencana pembangunan bandara baru di Kulonprogo. (Baca juga: Walhi: Bandara Kulonprogo Hanya Proyek Ambisius Pemprov Yogya)

Kecaman senada juga disampaikan Kus Sri Antoro dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris. Menurut dia, tindakan represif yang dilakukan aparat saat pendataan lahan oleh tim appraisal bandara kemarin sesungguhnya tidak perlu terjadi.

“Tim appraisal harusnya juga mempertimbangkan aspek sosial dan budaya warga setempat, warga juga kan punya kedekatan historis/budaya atas makam itu karena sebagai tempat ziarah leluhur mereka, jika itu tidak dihargai artinya memang pembangunan bandara ini tidak menghargai kearifan lokal warga setempat,” ujar Kus.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis