Jakarta, Aktual.com — Kebijakan pemerintah terhadap perlindungan usaha kecil dan menengah di mata para pengusaha dari Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) masih kurang.

Padahal di era pasar bebas saat ini, daya saing UKM harus tinggi, agar dapat brsaing dengan produk negara lain. Apalagi sekarang serbuan produk-produk impor, terutama dari China sangat tinggi.

“Untuk itu, perlindungan terhadap local content (muatan local) itu sangat diperlukan. Makanya proyek-proyek pemerintah juga harus libatkan UKM, agar mereka terus bertahan,” terang Ketua Umum HIPPI, Suryani Motik, di Jakarta, Jumat (13/5).

Jika UKM dapat bertumbuh, maka produk-produk yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan pasar domestik. Sehingga tidak lagi mengandalkan produk impor, terutama produk yang datang dari China.

“Tapi sekarang malah semua yang kecil-kecil itu diimpor. Kalau begitu, rakyat dapat apa? Padahal kalau UKM itu bertumbuh, kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja juga besar,” terang dia.

Cuma sayangnya, terkadang produk-produk yang selama ini menjadi andalan Indonesia, bahkan bisa disebut khas Indonesia juga malah diimpor. Seperti produk batik.

“Saat ini banyak batik yang ada di pasaran itu, produk batik dari China, padahal batik mereka itu printing. Mestinya, pemerintah utamakan produk local content. Sehingga dapat menumbuhksn industri dalam negeri,” papar Suryani.

HIPPI pun mendorong pemerintah agar lebih mengutamakan produk-produk lokal. Bahkan ia meminta pemerintah untuk belajar dari Korea Selatan, yang begitu sukses memanfaatkan produk dalam negerinya. Dan rakyat di sana juga bangga dengan produk dalam negerinya.

“Mestinya semua produk itu digunakan dari dalam negeri. Termasuk kalau itu produk olahraga seperti Nike, ya ambil dari pabriknya yang di Tangerang, bukan lagi-lagi impor,” kata dia.

Sejauh ini produk-produk impor dari China masih mendominasi pasar dalam negeri. Makanya neraca perdagangan Indonesia-China mengalami defisit. Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatatkan nilai ekspor ke China sebesar US$ 2,84 miliar dalam kurun kuartal-I 2016.

Sedangkan impor dari Indonesia dari China di kuartal I 2016 mencapai US$ 7,12 miliar. Sehingga ada defisit sebesar US$ 4,28 miliar.

Selama lima tahun ini, neraca perdagangan Indonesia-China memang terus defisit. Pada 2011 mencatat defisit sebesar US$ 3,27 miliar. Di 2012, defisit tersebut meningkat menjadi US$ 7,73 miliar, tahun 2013 sebesar US$ 7,25 miliar, tahun 2014 US$ 13,02 miliar, dan tahun 2015 sebesar US$ 14,37 miliar.

Suryani kembali menambahkan, permasalahan utama UKM Indonesia yang masih kalah bersaing dengan prosuk dari China itu adalah, kurangnya pendanaan. Apalagi akses mendapat pendanaan juga sangat susah.

“Masih banyak problem yang sihadapi UKM di lapangan. Antara lain terkait pendanaan. Tapi sayangnya, bisnis UKM ketika mau pinjam ke bank selalu diangggap tidak bankable dan tidak feasible,” ujarnya.

Mestinya, kata dia, ada perlakuan khusus bagi UKM dalam rangka mengakses pendanaan di perbankan itu. “Jangan samakan UKM itu dengan korporasi besar, sehingga dibebani banyak syarat (ketika meminjam ke bank),” pungkas Suryani.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan