Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutannya dengan latar belakang foto calon Ketua Umum Partai Golkar dalam Pembukaan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 2016 di Nusa Dua, Bali, Sabtu (14/5). Munaslub yang berlangsung 14-17 Mei 2016 tersebut dihadiri sekitar 4.000 peserta perwakilan dari DPP dan DPD seluruh Indonesia untuk memilih kembali ketua umum partai setelah sempat kisruh pada munas sebelumnya. ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana/aww/16.

Jakarta, Aktual.com — Pengamat politik dari IndoStrategi Andar Nubowo menilai Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar yang digelar di Bali 14-16 Mei 2016 sebagai sebuah pertaruhan nasib partai beringin di masa mendatang.

Seperti diketahui, Munaslub ini adalah upaya untuk menyatukan kembali Golkar yang terbelah selama hampir dua tahun, yakni kubu Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono (AL).

“Melalui SK Kemenkumham yang memenangkan ARB, Munaslub kali ini digelar. Apakah Golkar akan kembali bersatu padu, jaya dan meraih simpati publik? semuanya, tergantung pada nalar visioner dan strategis elite partai dan para peserta Munaslub,” ujar Andar di Jakarta, Senin (16/5).

Andar mengingatkan bahwa ada tantangan serius yang perlu disadari oleh segenap peserta Munaslub dan keluarga besar Beringin, yakni ancaman deadlock bahkan perpecahan kembali. Sebab, ada dua calon yang disebut-sebut mendapat dukungan dari Istana.

“Ancaman deadlock bisa saja terjadi akibat persaingan Akom (Ade Komaruddin) yang didukung Jusuf Kalla dan Keluarga Cendana sementara Setya Novanto yang didukung Luhut Binsar Pandjaitan dan ARB. Kita tahu, JK dan LBP ini tidak cocok sejak awal di pemerintahan,” ungkap Dosen UIN Jakarta itu.

“Sekarang keduanya menciptakan Proxy war di Golkar melalui Akom vs SN. Ini sebuah pertaruhan martabat dan kuasa ekonomi politik, masa depan PG dan juga Pemerintah Jokowi,” tambahnya.

Seharusnya, kata dia, tidak seyogyanya Pemerintah atau presiden terlibat dukung mendukung kandidat ketum parpol.

“Ini menyalahi fatsun demokrasi. Pemerintah tidak mengulang kekeliruan masa silam ketika terjadi relasi patron-klien antara penguasa-partai politik. Sebab, dalam relasi klientelisme itu yang terjadi adalah politik transaksional yang tidak sehat dan menyehatkan. Apalagi jika dukung mendukung pemerintah itu memicu friksi,” tandas Andar.

Artikel ini ditulis oleh: