Jakarta, Aktual.com — Laju dominasi arus impor barang non migas dari Negara China ke Indonesia masih tak terbendung, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis nilai perdagangan impor pada bulan Januari hingga April 2016 mencapai angka USD9.650.6 juta.
Menurut Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Sasmito Hadi Wibowo menyatakan dengan nilai tersebut menempatkan China pada peringkat pertama arus impor Indonesia.
Jika dibandingkan dengan semua impor Indonesia dari negara-negara ASEAN yang terdiri dari Singapura, Thailand dan Malaysia, hanya mencapai USD8.427.3 atau 22,49 persen. Maka, China masih unggul dengan angka 25,76 persen.
“Tiongkok Masih menjadi negara asal impor terbesar Indonesia dengan peran 25,76 persen itu sebesar USD9.650.6 juta,” kata Sasmito di Gedung BPS RI, Jalan Dr. Sutomo No. 6-8 Jakarta, Senin (16/5)
Sebelumnya Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) mengamati bahwa saat ini hubungan perdagangan antara Indonesia dan China terjadi kesenjangan dan berat sebelah, China lebih banyak meraup untung dengan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai pasar ekspor mereka dan Indonesia mengalami defisit.
Ekonom INDEF, Eko Listiyanto menjelaskan selama ini dalam hubungan mitra dagang dengan negeri China, Indonesia mengandalkan komoditas tambang layaknya batubara menjadi bahan ekspor, namun sejak ekonomi China mengalami perlambatan, maka permintaan komoditas tersebut mengalami penurunan.
Sedangkan di sisi lain impor Indonesia dari China relatif bertahan lantaran barang perdagangannya berupa produk barang jadi seperti tekstil, alat otomotif, Hand Phone dan sebagainya.
“Kita berdagang komoditas primer, tambang, batubara, karet. Ketika pertumbuha China turun tahun ini 6,5 persen sehingga permintaan kurang dan kita anjlok minus perdagangan, Implikasinya adalah ekspor kita turun, sedangkan impornya cenderung meningkat. Dari situ kalau dikomparasi, lebih banyak impor dari China dan ini membuat defisit Indonesia,” papar Eko di Veteran Coffee & Resto, Jl. Veteran I No. 21 Gambir, Jakarta, Senin (5/6).
Dia menambahkan, melonjaknya permintaan dalam negeri terhadap produk China bukan berdasarkan kualitas yang lebih unggul dari produk lokal, namun tidak lain dari sisi aspek harga yang lebih terjangkau. Dari itu dia menyarankan pemerintah agar mampu mendorong industri dalam negeri untuk mengefisienkan biaya produksi agar mampu kompetitif denga pasar global.
“Saya rasa kekuatan China unggul dengan harga murah. Dalam negeri kita punya kualitas dengan China. Cuma harga saja, pemerintah harus berusaha supaya harga kompetitif tapi kualitas unggul kita,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta