Jakarta, Aktual.com – Pengamat hukum tata negara Masnur Marzuki berpendapat kesepakatan rapat 18 Maret 2014 antara Pemprov DKI dengan pengembang terkait kontribusi tambahan, tidak memiliki kekuatan hukum.

“Itu cuma notulansi biasa, tidak bisa jadi alas hukum, kecuali ada keputusan gubernur tentang kontribusi tambahan dan keputusan itu berangkat dari keputusan rapat,” ujar dia, kepada Aktual.com, Senin (16/5).

Masnur menambahkan, seorang pejabat pun tidak bisa sembarangan membuat keputusan sendiri atau diskresi. Sebab, harus mengacu pada UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Misalnya, Pasal 22 ayat (2) mensyaratkan harus bertujuan melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Pasal 23 menambahkan, bahwasanya diskresi yang diambil pejabat harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan/tindakan, keputusan tidak diatur peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undagan tidak lengkap/jelas, dan pengambilan keputusan/tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Adapun syarat melakukan diskresi, Pasal 24 menerangkan, yakni sesuai bunyi Pasal 22 ayat (2), tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik, berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik, dan dilakukan dengan itikad baik.

“Dan Pasal 25 ayat (1) dan (2) menjelaskan, bila disreksi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat sesuai peraturan perundangan-undangan. Persetujuan diperlukan, apabila diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara,” bebernya.

“Pertanyaannya, apakah syarat-syarat itu telah dipenuhi untuk mengeluarkan aturan tentang kontribusi tambahan? Selama ini yang disebut Ahok kan cuma Keppres No. 52/1995. Tapi, faktanya tidak dimuat di situ,” imbuh akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) ini.

Dicantumkannya Keppres tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta itu, imbuh Masnur, justru menjadi blunder bagi Ahok. Pasalnya, peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pada 13 Juli 1995 tersebut telah gugur, menyusul berlakukanya UU No. 27/2007 sebagaimana diubah dalam UU No. 1/2014.

“Dan UU No. 1/2014 disahkan pada Januari 2014. Sedangkan keputusan rapat itu dibuat Maret. Artinya, dalil pembahasannya saja sudah cacat hukum,” tegas direktur Jakarta Monitoring Network (JMN) ini.

Yang tak kalah ‘menggelitik’, ucap Masnur, adalah disepakatinya kontribusi tambahan kepada pengembang di hasil rapat itu, sebelum izin prinsip dan izin pelaksanaan reklamasi diterbitkan. “Itu jelas mencerminkan adanya dugaan ijon kebijakan,” tandasnya.

Sebelumnya, dikabarkan ada aliran dana sebesar Rp6 miliar dari PT Agung Podomoro Land (APL) atau induk perusahaan PT Muara Wisesa Samudra (MWS) yang memperoleh izin reklamasi Pulau G untuk penggusuran wilayah Kalijodo, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu.

Dana itu disebut-sebut sebagai salah satu kontribusi tambahan karena perusahaan taipan besutan Trihatma Kusuma Haliman ini mengantongi izin menggarap pulau buatan di Teluk Jakarta.

Di Balaikota DKI, Kamis (12/5) malam, Ahok pun membantah isu tersebut. Bahkan, dia menyebut kabar itu merupakan fitnah jahat. Beberapa jam kemudian, melalui salah seorang stafnya, dia memberikan salinan rapat tertanggal 18 Maret 2014 tentang berita acara rapat pembahasan kewajiban tambahan empat pengembang.

Pada salinan dokumen itu, sebagaimana diperoleh Aktual.com, dipaparkan apa saja yang harus dilakukan PT Jakarta Propertindo (Jakpro), PT MWS, PT Jaladri Kartika Eka Pakci, dan PT Taman Harapan Indah untuk kontribusi tambahannya.

Artikel ini ditulis oleh: