Anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo meminta agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Sebab, hukuman tersebut bukanlah solusi terbaik dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak.
“Terkesan kuat namun ada cermatan yang kurang akurat yang melandasi rencana pemerintah. Karena pemerintah beranggapan bahwa kejahatan seksual sebagai bentuk perilaku seksual yang melanggar hukum pasti diawali oleh motif seksual,” ujar Rahayu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/5).
Menurut wanita yang akrab dipanggil Sara ini, teori yang dianut pemerintah adalah motif seksual linear semata dengan perilaku jahat seksual. Faktanya, sebagaimana pada aksi-aksi kejahatan seksual pada umumnya, kejahatan seksual terhadap anak motif pelaku pun sesungguhnya adalah kontrol dan penguasaan.
“Di balik motif itu mengepul-ngepul kebencian, amarah, sakit hati, dendam, dan tumpukan perasaan-perasaan negatif lainnya. Gumpalan perasaan negatif itu bersumber dari misalnya, pengalaman traumatis si ‘predator’ saat mendapat perlakuan kekerasan serupa saat ia masih berusia kanak-kanak,” jelasnya.
Sebagai anggota DPR yang membidangi masalah perempuan dan anak, Sara menjelaskan bahwa kastrasi hormonal yang dinilai dapat mematikan libido seksual bagi para ‘predator’ seksual tersebut ternyata tidak ikut serta membinasakan perasaan-perasaan negatif dari para pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
“Namun justru kastrasi hormonal dapat memperberat tingkat kebahayaan si ‘predator’, karena pengebirian merupakan perlakuan yang bertolak belakang dengan kebutuhan ‘predator’ akan kontrol dan penguasaan,” imbuh Sara.
Sebab, lanjut Sara, guna mengompensasikan kekalahannya akibat kebiri tersebut, si ‘predator’ (sebagai makhluk pembelajar) hampir bisa dipastikan akan mengembangkan siasat-siasat baru untuk melancarkan kejahatannya, termasuk dengan menyertakan orang lain guna melampiaskan hasrat kontrol dan penguasaannya itu.
“Itu berarti bahwa pelaku yang dulunya hanya memilih anak-anak sebagai target aksi biadabnya, setelah dikastrasi ia akan bisa mengincar siapapun atau apapun sebagai sasaran perasaan negatifnya,” paparnya.
Jadi, kata Sara, alih-alih menghilangkan perilaku keji predator seksual, kastrasi hormonal justru berpotensi kuat melipatgandakan kecenderungan pelaku kejahatan seksual terhadap anak untuk menjadi residivis.
“Karena itu, kita mendesak pemerintah untuk memikirkan lagi secara matang dan jangan mengedepankan emosional semata dalam pembuatan peraturan terutama dalam Perppu hukuman kebiri tersebut,” tutup dia.
Artikel ini ditulis oleh: