Transformasi Kebudayaan
Untuk merawat persatuan dalam kerangka ”unity in diversity” yang dapat diarahkan pada usaha pencapaian kemajuan bangsa, memerlukan transformasi di bidang kebudayaan. Transformasi kebudayaan ini terutama menyangkut tiga dimensi utamanya, yakni dimensi mitos, logos, dan etos/karakter, dalam wawasan nasional kita.
Transformasi Mitos
Dalam usaha mencapai kemajuan berbasis persatuan, yang harus kita akhiri bukan saja ”mitos pribumi malas” dan ”ascribed status” (keturunan bawaan) sebagai ukuran kehormatan. Mitos baru harus dimunculkan dengan menenkankan kebernialan etos kerja dan meritokrasi, termasuk kepercayaan pada kapasitas kaum muda sebagai agen perubahan.
Dengan menggali modal sejarah, dapat dipulihkan kepercayaan baru bahwa Indonesia tanpa daya muda adalah Indonesia yang mengabaikan fitrahnya. Nyaris tak terbayangkan, bagaimana nama Indonesia bisa ”ditemukan” dan kemerdekaannya diperjuangkan tanpa pergerakan kaum muda.
Menulis di majalah Bintang Hindia, No 14 (1905: 159), Abdul Rivai memperkenalkan istilah kaum muda yang didefinisikan sebagai seluruh rakyat Hindia/Indonesia (muda atau tua) yang tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno. Sebaliknya, mereka berkehendak untuk memuliakan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu.
Sejak itu, istilah kaum muda digunakan secara luas dalam liputan media dan wacana publik. Istilah ini segera saja menjadi kode eksistensial dari suatu entitas kolektif yang berbagi titik kebersamaan dalam ambisi untuk memperbarui masyarakat Hindia/Indonesia melalui jalur kemajuan.
Lebih dari sekadar kriteria usia, kaum muda merefleksikan sikap-kejiwaan. Suatu kebaruan cara pandang yang memutus hubungan dengan tradisi kejahiliahan masa lalu, dengan keberanian memperjuangkan visi perubahan yang menjanjikan pencerahan masa depan. Namun, tak terhindarkan, mereka yang berani mengemban visi perubahan lebih mungkin tumbuh dari mereka yang tidak terlalu digayuti beban masa lalu. Meminjam pandangan Hatta, Generasi baru kaum terdidik, dengan kemampuannya untuk membebaskan diri dari hipnosa kolonial, lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoretis bagi aksi-aksi kolektif.
Maka, tidak mengherankan, orang-orang muda ada di balik tonggak-tonggak terpenting kebangunan bangsa. Guru-guru belia mulai mengampanyekan gerakan kemajuan lewat pers vernakular dan perkumpulan Mufakat Guru pada akhir abad ke-19; anak-anak STOVIA memelopori gerakan kultural Budi Utomo pada 1908; pemuda-pemuda jebolan berbagai sekolah modern termasuk Samanhudi yang lulusan sekolah ongko loro (tweede Klasse School) mengembangkan Sarekat Islam sejak 1912 sebagai pergerakan politik proto-nasionalisme; para mahasiswa mengembangkan perhimpunan Indonesia, kelompok-kelompok studi pergerakan serta partai-partai politik nasionalis sejak 1920-an; pemuda-pelajar menggalang Sumpah Pemuda sebagai kode pembentukan blok nasional pada 1928; bahkan revolusi kemerdekaan 1940-an dilukiskan Ben Anderson sebagai revolusi pemuda.
Kenanglah Tan Malaka! Ia telah menjadi pemimpin Partai Komunis pada usia 24 tahun. Kenanglah Soekarno, ia mendirikan dan memimpin Partai Nasional Indonesia pada usia 26 tahun. Kenanglah Sjahrir, ia memimpin Pendidikan Nasional Indonesia pada usia 22 tahun. Kenanglah Mohammad Roem, ia telah menjadi ketua Lajnah Tandfiziyah Barisan Penyadar PSII pada usia 29 tahun. Bandingkan dengan usia para pemimpin politik Indonesia saat ini.
Setelah lebih dari setengah abad merdeka, Indonesia sebagai proyek historis kaum muda harus menghadapi kenyataan tua-renta, kehilangan elan vital daya muda. Indonesia tanpa jiwa muda (kebaruan-kemajuan) dan kepemimpinan pemuda adalah Indonesia yang menyangkali jati dirinya.
Kehendak membangun daya saing bangsa menuntut kita untuk memudakan kembali Indonesia. Akselerasi alih kepemimpinan nasional di segala bidang menjadi tuntutan.
Kaum muda dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia berperan penting dalam ”menemukan politik” (the invention of politics)—yang hingga awal abad ke-20, istilah politik tersebut tak ada padanannya dalam bahasa Melayu-Indonesia. Kaum muda di masa kini dituntut untuk meraih kembali ”politik” yang hilang dari genggamananya seraya mengembalikannya ke jalur yang benar.
Politik dalam kesadaran kaum muda pergerakan jauh dari bahasa teori ’pilihan rasional’, bahwa rationalitas kepentingan individual harus dibayar oleh irasionalitas kehidupan kolektif. Politik dalam konsepsi mereka merupakan usaha resolusi atas problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif. Mirip dengan pemahaman Aristotelian, politik dipandang sebagai seni mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum, terutama kepentingan kaum terjajah, dengan jalan mensubordinasikan kepentingan-kepentingan partikular pada kepentingan (kaum terjajah) secara keseluruhan.
Oleh karena itu, betapapun konflik ideologis berulang kali terjadi, selalu ada usaha untuk mempertautkan kepentingan-kepentingan seksional ke dalam suatu kehendak kolektif yang disebut Antonio Gramsci sebagai ”historical bloc”. Salah satu monumen terpentingnya ialah Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Suatu babak penting dalam perjuangan kemerdekaan, ketika gugus-gugus pemuda yang terfragmentasi melebur dalam suatu cita-cita nasionalisme baru dengan rasionalitas dan otosentrisitasnya sendiri. Hal ini ditempuh dengan mengkonstruksikan komunitas impian baru (Indonesia), dengan cara keluar dari jebakan ”bahasa” dan ”konstruksi” kolonial. Dengan ”penemuan” politik yang berkhidmat pada kemasalahatan bersama (pro-bono publico) itulah, kemerdekaan Indonesia bisa dicapai.
Di sinilah letak khittah politik kaum muda. Manakala elemen-elemen kemapanan menyeru pada ”kejumudan” dan ”ego sektoral”, kaum muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme.
Peran politik kaum muda seperti itu kini dipanggil kembali oleh sejarah, ketika politik sebagai seni mengelola republik demi kebajikan kolektif mulai tersisihkan oleh apa yang disebut Machiavelli sebagai raison d’état (reason of state) yang berorientasi parokial. Jika ”politik” sejati memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui perbaikan orotiras publik; ’reason of state’ memprioritaskan kepentingan elite dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan ’kebajikan publik’. Dengan demikian ’reason of state’ adalah seni memerintah dengan menipu rakyat.
Kaum muda harus menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada Republik, dengan mengembalikan politik pada khitahnya. Seturut dengan komitmen untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (republik) ini, ada mitos lain yang harus diruntuhkan. Mitos lama yang mempercayai bahwa kemenangan suatu kelompok etnis-keagamaan harus dibayar oleh kekalahan kelompok lain harus diakhiri. Kepercayaan baru perlu dihadirkan dengan kejembaran untuk berbagi kebahagian dengan merayakan kemenangan secara bersama. Kekayaan Indonesia sebagai negeri multikultural tidak boleh dibiarkan terus berjalan dalam situasi “plural monokulturalisme” yang berjalan sendiri-sendiri tanpa saling berinteraksi. Harus diciptakan wahana yang mendorong proses penyerbukan silang budaya (cross-culture vertilization), yang melahirkan persenyawaan yang unggul dan produktif. (bersambung)
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual