Jakarta, Aktual.com — Pemerintah direncanakan akan mengganti program bantuan beras untuk kalangan miskin (raskin) dengan sistem voucher pangan. Sehingga nantinya, pemerintah akan memberikan sistem voucher kepada masyarakat miskin untuk dibelikan ke bahan pokok pangan.
Namun penggantian program ini sepertinya akan menambah masalah baru di sektor pangan. Pasalnya, kebijakan Voucher Pangan ini tak akan mampu menekan stabilisasi pangan.
“Kebijakan ini akan jadi masalah baru di tengah masalah sektor pangan yang masih ada. Jadi secara tegas, kebijakan ini tidak akan dapat stabilkan harga,” tegas pengamat kebijakan pangan Bustanul Arifin saat Bincang-Bincang Agraria soal ‘Arah Kebijakan Voucher Pangan’ di Jakarta, Rabu (18/5).
Bustanul melihat, kebijakan Voucher Pangan itu terlalu tergesa-gesa mestinya kalau mau ikut mengentaskan kemiskinan tinggal perbaiki saja mekanisme raskin itu.
“Kalau dalam sistem Voucher Pangan ini tidak akan mampu mengatasi stabilisasi harga. Saya anggap kebijakan ini tergesa-gesa. Padahal sebuah kebijakan itu jangan kebetulan,” terang dia.
Bustanul mengungkapkan, manfaat raskin dari berbagai pengalaman yang terjadi itu ternyata sangat efektif dalam menstabilkan harga pangan, terutama beras. Kendati selama ini tidak dapat mengentaskan kemiskinan.
“Jika raskin itu terlambat maka harga beras langsung naik. Seperti yang terjadi pada tahun 2015 akhir yang terlambat sampai 2,5 bulan, ternyata harga beras langsung melonjak,” tegasnya.
Hal ini terjadi ketika raskin terlambat masyarakat miskin yang biasa konsumsi beras dari raskin, maka langsung menyerbu pasar. “Dan dampaknya sudah pasti harga beras akan melonjak,” tegas dia.
Untuk itu, Bustanul meminta, pemerintah jangan langsung menggantinya dengan Voucher Pangan. “Cukup perbaiki saja sistemnya dan perbaiki juga data penerimanya itu agar tepat sasaran,” ungkap Bustanul.
Selama ini, raskin itu diberikan kepada 15,5 juta keluarga miskin dengan masing-masing mendapat 15 kg. Namun nyatanya, raskin tidak terlalu berkontribusi untuk mengurangi kemiskinan.
Berdasar data Oktober 2015, jumlah orang miskin memang meningkat dari 10,96 juta menjadi 11,7 juta.
Apalagi berdasar survey yang dilakukan oleh pihaknya, kata Bustanul, terkait raskin dihubungkan dengan gizi makro masyarakat ternyata ketika ada selisih harga beras yang lebih murah tidak digunakan untuk meningjatkan gizi dengan mengkonsumsi telur.
“Gizi makro masyarakat itu adalah kalau subsidi murah maka seakan-akan masyarakat akan ada saving. Jadi jika harga pasar Rp8.000/kg maka harga raskin Rp6.400, maka ada saving Rp1.600. Itu yang kita sebut implisit saving,” paparnya.
Cuma masalahnya, ketika ditanyakan dari saving itu digunakan untuk beli telur, ternyata tidak.
“Makanya denga kebijakan raskin saja, konsumsi masyarakat masih belum mengutamakan gizi apalagi dengan Voucher Pangan ini? Makanya Voucher Pangan harus jelas konsepnya. Apalagi terkait teknis di lapangan pun akan banyak masalah,” papar dia.
Di tempat yang sama, Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Manajemen Isu Strategi, Denni Puspa Purbasari menjelaskan, saat ini payung hukum untuk kebijakan Voucher Pangan sedang dipersiapkan. “Ini instruksi dari Presiden yang menyasar 15,5 juta rumah tangga sasaran,” katanya.
Denni mengungkapkan bahwa pada Mei 2016 ini akan keluar Keputusan Presiden tentang Voucher Pangan. “Pada Januari 2017 aktivasi sistem penyaluran baru (Voucher Pangan) di kota. Dan, pada Januari 2018 di tingkat kabupaten,” jelas Denni.
Nantinya, dengan kebijakan voucher ini, masayarakat miskin yang selama ini hanya mengkonsumsi beras raskin mungkin dengan voucher itu bisa merasakan beras premium.
“Mungkin mereka (kalangan miskin) bisa membeli beras Rojo Lele, setengan liter juga tidak apa-apa,” tegasnya. Namun dirinya belum memastikan nominal dari Voycher Pangan tersebut.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka