Jakarta, Aktual.com — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menaruh curiga dengan ‘perjanjian preman’ yang disepakati oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan beberapa perusahaan pengembang reklamasi pantai utara Jakarta.
Sebab, menurut Agus perjanjian itu dibuat tanpa landasan hukum yang jelas. Agus pun bertanya-tanya, mengapa Ahok bisa membuat perjanjian tersebut.
“Kalau tidak ada peraturannya ada tanda tanya besar dong. Peraturannya mestinya disiapkan dulu,” kata Agus, saat ditemui di kantornya, Jumat (20/5).
Kata Agus, sebagai Kepala Daerah Ahok harus bekerja sesuai dengan perundang-undangan. Khusus untuk ‘perjanjian preman’ ini, sambung dia, semestinya dibuat berazaskan Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur.
“Ya seyogyanya semua tindakan itu kalau belum ada dasar peraturannya itu bisa dibuat. Jadi kan kalau di tingkat pusat tidak ada aturannya bisa buat Perda dan Pergub. Jangan kemudian kita kalau sebagai birokrat bertindak sesuatu tanpa ada acuan peraturan perundang-undangannya. Itu kan tidak boleh,” papar Agus.
Sebelumnya, Ahok menyebut kesepakatan pembayaran kontribusi tambahan yang disebutnya sebagai ‘perjanjian preman’ dibuat berdasar kewenangan diskresi yang dimilikinya sebagai Gubernur DKI, sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Diakui Agus, penggunaan hak diskresi itu memang dimiliki seorang Kepala Daerah. Tapi tetap saja tidak bisa digunakan dengan mengangkangi peraturan lainnya.
“Kan diskresi juga ada rambu-rambunya,” pungkasnya.
Ahok memang telah menyepakati ‘perjanjian preman’ dengan beberapa pengembang reklamasi. Perjanjian itu terkait pembayaran kontribusi tambahan pengembang reklamasi.
Padahal, tak satupun aturan yang mengatur adanya implementasi kontribusi tambahan. Aturan yang sebelumnya dijadikan sandaran oleh Ahok, Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995, juga tidak memuat aturan pembayaran kontribusi tambahan dimuka.
Artikel ini ditulis oleh: