Yogyakarta, Aktual.com — Kredit Usaha Rakyat atau KUR selama ini tidak 100 persen disalurkan sesuai peruntukannya, kata pengawas Otorias Jasa Keungan Yogyakarta Asteria Tika.

“Dulu ketika pertama kali diluncurkan, KUR merupakan program untuk penanggulangan kemiskinan,” kata Asterina pada diskusi “Optimalisasi KUR unuk Pengembangan UMKM di DIY” di Sleman, Jumat (20/5).

Menurut dia, selama ini program KUR terjadi semacam penyimpangan di lapangan karena adanya praktik-praktik dari oknum pegawai bank penyalur.

“Sebagai contoh adanya usaha fikif, ini bisa terjadi karena kadang peugas bank ditarget dapat menyalurkan jumlah kredit tertentu sehingga mereka bekerja asal target terpenuhi,” tuturnya.

Ia mengatakan, program KUR sebenarnya dalam rangka pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), pencipaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan.

“Pemerinah menerbitkan paket kebijakan sektor keuangan yang bertujuan unuk meningkakan sektor riil dan memberdayakan UMKM. Kebijakan pengembangan UMKM antara lain dengan peningkatan akses pada sumber pembiayaan dengan memberikan penjaminan kredit bagi UMKM,,” ujarnya.

Aserina mengatakan, kendala pelaksanaan KUR di lapangan diantaranya dari sisi deparemen teknis menganggap masih banyak UMKM binaan mereka yang belum terjangkau akses ke permodalan.

“Sedangkan dari sisi bank pelaksana menganggap sulit untuk mendapatkan debiur baru,” ucapnya.

Ia mengatakan, pihak bank juga mengacu pada dafar debitur yang bermasalah dalam pertimbangan menyalurkan kredit kepada UMKM.

“Jadi ketika diketahui ada pelaku UMKM yang pernah bermasalah dalam kredit permodalan maupun konsumtif, maka ini menjadi pertimbangan bank pelaksana dalam mengabulkan permohonan kredit permodalan UMKM,” tambahnya.

Sementara itu salah satu anggota Komunitas UMKM Daerah Isimewa Yogyakarta Sunaryo mengatakan dirinya merasa kesulitan unuk dapat mendapatkan KUR karena namanya masih masuk dalam daftar debiur bermasalah.

“Saya menjalankan usaha dibidang ransportasi, dulu saat harga BBM solar masih Rp4.000, usaha saya lancar dan menguntungkan. Bahkan saya tidak terarik unuk mengajukan kredit permodalan, tetapi ada pihak bank yang menawari saya untuk mengajukan kredit, beberapa kali saya tolak hingga akhirnya saya mengajukan kredit modal di bank unuk menambah armada baru,” tuturnya.

Ia mengemukakan, setelah beberapa waktu mendapatkan kredit permodalan, harga BBM solar naik sampai Rp2.000 per liter, sedangkan ongkos jasa transporasi hanya naik Rp10 per kilogram.

“Dengan kondisi tersebut, usaha jasa transportasi yang sebelumnya lancar dan angsuran kredit juga lancar menjadi tersendat, sampai menunggak beberapa bulan. Namun dengan jalan menjual armada, kredit di bank akhirnya dapat dilunasi,” ucapnya.

Menurut dia, meski kredit di bank sudah lunas, namun ternyata namanya masuk dalam dafar hitam debiur bermasalah, sehingga sampai saa ini idak bisa mengajukan bantuan permodalan melalui KUR.

“Setiap saya mengajukan kredit modal selalu ditolak, di bank manapun juga ditolak karena adanya daftar hitam debitur tersebut,” katanya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan