Yogyakarta, Aktual.com – Klaim sepihak tanah Kasultanan Kraton Yogyakarta atau Sultan Ground (SG) dan tanah Kadipaten Pakulamanan atau Pakualaman Ground (PAG) kembali ditentang sejumlah kalangan karena dianggap hanya akan memuluskan kepentingan pemodal besar serta menguntungkan elit tertentu, semakin memudahkan penyingkiran ruang-ruang penghidupan warga seperti proyek Bandara Kulonprogo, pabrik pasir besi, hotel maupun apartemen.

Salah satu muara persoalan adalah keberadaan UU Keistimewaan yang menjadi pedoman ketentuan tata ruang dan sistem agraria Pemprov DIY, undang-undang ini dinilai hanya menjadi justifikasi perampasan hak warga atas tanah yang dilakukan secara sistematis.

“SG dan PAG di Yogya itu sudah tidak ada sejak UUPA tahun ’60, tapi Sultan yang sekarang (HB 10) mencoba merebut kembali karena dia punya kepentingan memperkaya diri sendiri, bekerja sama dengan para pemilik modal,” kecam Humas Aliansi Rakyat Untuk Demokrasi, Fullah Jumainah, , Minggu (22/5), di Yogyakarta.

Infrastruktur komersil yang kian masif dibangun, menurut Fullah, bukannya menyejahterakan justru menyengsarakan warga sendiri terutama masyarakat kecil. Ruang-ruang hidup warga perlahan digeser seperti yang dialami para petani lahan pantai Kulonprogo (PPLP), petani Temon (WTT) dan warga-warga terdampak lain. Penolakan yang dilakukan mau tidak mau harus berhadapan dengan aparat kepolisian.

Fullah menilai, secara umum masyarakat di Yogyakarta masih enggan membicarakan status tanah SG dan PAG, lantaran ketidaktahuan masyarakat tentang seperti apa sejarah agraria sebenarnya di Yogyakarta. Terlebih, yang paling mendominasi ialah ketakutan-ketakutan akan tindakan yang dilakukan pihak Kesultanan jika mempermasalahkan status tanah SG dan PAG.

“Lihat saja di Kulonprogo kemarin, petani yang berani menolak malah di represi, hal semacam itu yang menyebabkan masyarakat lain tidak berani, sudahlah manut saja,” kata Fullah.

Kritik pun dilontarkan kepada kelompok-kelompok akademisi di Yogyakarta. Civitas ini dianggap hanya asik dengan dunia akademisinya saja, keprihatinan hanya berakhir pada tataran diskusi tanpa memberi dorongan dan bantuan dengan turun langsung ke basis bersama-sama warga. “Kita mengalami krisis akademisi yang benar-benar lantang bersikap terkait masalah agraria ini,” ujar Fullah.

Peneliti dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris, Kus Sri Antoro, juga kembali mengingatkan seperti apa menyikapi konflik-konflik yang terjadi. Menurutnya, persoalan eksploitasi dan perampasan ruang hidup warga saling berhubungan satu sama lain dan mata rantainya terletak pada persoalan agraria dan tata ruang.

“Ngomongin bandara tanpa ngomongin proyek lain percuma, hanya lokalisasi kasus. Ngomongin Jogja Ora Didol tanpa ngomongin soal tanah juga omong kosong. Jika tanah yang berada dibawah penataan ruang dimiliki satu orang atau satu pihak tunggal, maka tata ruangnya ya tergantung satu pihak tunggal itu mau dijadikan apa, itu yang paling krusial,” kata Kus.

Artikel ini ditulis oleh: