Jakarta, Aktual.com — Posisi PT Pertamina (Persero) yang sangat strategis, tidak bisa didiamkan begitu saja kalau kinerjanya mengalami penurunan yang drastis seperti saat ini.
Pasalnya, Pertamina ini mengelola komoditas yang sangat strategis, maka negara harus turun tangan apabila pengelolaan Pertamina di bawah komando Dwi Soetjipto ini mulai mengkhawatirkan.
“Jika dilihat dari kinerja Pertamina di 2015 yang terus menurun memang sudah masuk taraf mengkhawatirkan. Pemerintah jangan hanya diam,” cetus Koordinator BUMN Watch, Helvi Moraza kepada Aktual.com, Senin (23/5).
Selama ini, kata dia, Pertamina sebagai BUMN yang paling strategis, selain mengelola komoditas minyak dan gas yang juga sangat vital perannya, juga Pertamina kontribusi dividennya ke kas negara juga tinggi. Sehingga jika kinerja menurunnya didiamkan akan sangat berdampak.
Menurut dia, selain karena kondisi minyak dunia yang tengah menurun, tapi di bawah kepemimpinan Dwi Soetjipto yang kurang inovatif membuat penurunan kinerja Pertamina semakin parah.
“Kemana sebetulnya arah Pertamina ini? Apakah sudah menjalankan misi kesejahteraan rakyat? Jika terus menurun kinerjanya bagaimana akan menyejahateraan rakyat?” cetus Helvi.
Apalagi, posisi pemerintah sendiri hanya berperan sebagai pengontrol atau pengelola Pertamina saja, bukan pemilik yang sah.
“Pemilik yang sah itu adalah rakyat dan bangsa ini. Jadi, jika Pertamina terus menurun kinerjanya dan tidak sesuai dengan kepentingan rakyat, maka rakyat sebagai pemilik yang sah tentu akan marah,” tandas dia.
Kinerja Pertamina tahun 2015 lalu sangat mengkhawatirkan. Berdasar Laporan keuangan PT Pertamina (Persero) pada kuartal ketiga 2015 (non auditeed) menunjukkan bahwa aset perseroan sebesar US$46,38 miliar atau setara Rp623,23 triliun (kurs Rp13.437,5).
Namun, nilai aset tersebut ternyata mengalami penurunan sebesar US$3,97 miliar atau Rp53,41 triliun dibanding priode 2014 yang sebesar US$50,35 miliar atau Rp676,64 triliun.
Sementara, di periode tersebut juga memperlihatkan bahwa liabilitas alias utang yang harus dilunasi Pertamina mencapai US$27,33 miliar atau Rp367,19 triliun.
Memang liabilitas pada periode itu mengalami penurunan sebesar US$4,21 miliar atau Rp56,63 triliun dibanding 2014 yang sebesar US$31,54 miliar atau Rp423,82 triliun.
Jika dilihat pada periode kuartal ketiga 2015 itu, komposisi rasio antara liabilitas dengan aset milik Pertamina mencapai 58,92 persen. Apalagi dari laporan iru disebutkan kewajiban Pertamina alias utang yang harus diselesaikan dalam waktu dekat ini cukup besar.
“Total liabilitas jangka pendek yang mesti dibayar Pertamina sebesar US$9,81 miliar atau Rp131,85 triliun,” sebut laporan itu.
Utang jangka pendek itu terdiri atas pinjaman jangka pendek (US$2 miliar), utang usaha (US$2,49 miliar), utang pemerintah-bagian lancar (US$972,66 juta), dan pajak lain-lain (US$509,12 juta).
Kemudian, beban masih harus dibayar (US$1,77 miliar), utang jangka panjang-bagian lancar (US$933,68 juta), utang lain-lain (US$1 miliar), dan pendapatan tangguhan-bagian lancar (US$138,22 juta).
Sementara, utang jangka panjang yang mesti dibayar perseroan sebesar US$17,51 miliar atau Rp235,34 triliun. Terdiri atas, utang pemerintah-dikurangi bagian lancar (US$131,17 juta), utang pajak tangguhan (USD2,45 miliar), dan utang jangka panjang-dikurangi bagian lancar (USD2,63 miliar).
Lalu, utang obligasi (US$8,68 miliar), utang imbalan kerja karyawan (US$1,66 miliar), provisi pembongkaran dan restorasi (US$1,67 miliar), pendapatan tangguhan-dikurangi bagian lancar (US$223,76 juta), dan utang jangka panjang lain-lain (US$69,95 juta).
Namun yang mengkhawaturkan lagi adalah, besarnya rasio utang terhadap aset ternyata tidak sebanding dengan rasio antara laba kotor terhadap aset yang hanya 8,34 persen.
“Hingga kuartal ketiga 2015 itu, Pertamina hanya bisa meraup laba kotor sebesar US$3,87 miliar atau Rp52 triliun. Laba kotor perseroan merosot dibanding 2014 yang mencapai US$5,37 miliar atau Rp72,19 triliun,” tulis laporan itu.
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan