Jakarta, Aktual.com — Bank Indonesia (BI) mencatat sebanyak 3,9 juta permintaan informasi tentang kelayakan debitur perbankan yang tersimpan di Sistem Informasi Debitur (SID) selama periode Maret 2016.
“Itu permintaan secara nasional selama periode Maret lalu,” kata Direktur Departemen Pengelolaan dan Kepatuhan Bank Indonesia (BI) Maurids H Damanik, di Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (23/5).
SID adalah sistem yang mempertukarkan informasi debitur dan fasilitas kredit dari Bank dan Lembaga Pembiayaan. SID dikelola oleh salah satu bagian di BI, yaitu Biro Informasi Kredit (BIK).
Di NTB, kata Maurids, data permintaan SID selama periode Maret 2016 mencapai 94.961 permintaan. Data tersebut tidak menunjukkan bagus atau jelek. Namun, semakin tinggi permintaan menandakan bahwa masyarakat sadar akan pentingnya informasi akan sejarah dari pada kreditnya.
“Tidak ada istilah jelek atau baik, bukan itu maksudnya, tapi semakin tinggi menunjukkan sadar pentingnya informasi sebelum mengajukan kredit ke bank,” ujarnya.
Maurids juga menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara informasi yang diminta dari BI dengan bank menolak permohonan kredit.
“Tidak boleh, direksi bank juga tiap tahun kami ingatkan. Bank tertentu ada yang terkadang memakai nama “BI Checking” atau SID, padahal tidak ada kaitan dengan keputusan bank memberikan kredit,” katanya.
SID, kata dia, adalah upaya BI membantu semua pihak untuk mempermudah dan mempercepat permohonan kredit, baik di bank konvensional maupun bank syariah.
Namun, sering terjadi salah pemahaman tentang SID di tengah masyarakat ekonomi Indonesia . Bahkan, ada asosiasi pengusaha yang menyalahkan BI gara-gara masuk di dalam SID atau “BI Checking” kemudian tidak mendapatkan kredit dari bank.
“Kami tidak sependapat BI disalahkan, makanya kami sosialisasi seperti sekarang ini,” kata Maurids.
Kepala Perwakilan BI NTB Prijono, menambahkan SID sangat penting sekali untuk bank dan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk mengetahui kualitas kreditnya.
Di NTB, kata dia, kualitas kredit juga bisa terlihat dari rasio “non performing loan” atau rasio kredit macet yang masih berada di kisaran 2 persen dari total kredit senilai Rp24,8 tirliun pada 2015, atau jauh di bawah ketentuan sebesar lima persen dari total kredit perbankan secara keseluruhan.
“Kredit itu bukan infak, jadi harus dikembalikan karena itu uang masyarakat yang dikelola oleh bank,” katanya.
Sosialisasi dan evaluasi pengelolaan SID di Kantor Perwakilan BI NTB, diikuti oleh 150 peserta yang berasal dari unsur pelaku UMKM, badan usaha milik negara (BUMN) yang beroperasi di NTB, kepolisian, pengusaha jasa pariwisata, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan unsur jurnalis dari media cetak dan elektronik.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka