Jakarta, Aktual.com — Pengampunan Pajak yang kini tengah dibahas pemerintah bersama DPR RI tidak akan menjadi obat mujarab apabila tidak diawali dengan reformasi perpajakan. Banyak negara yang memberikan pengampunan pajak, namun gagal karena tidak diawali dengan reformasi perpajakan.

“Kunci keberhasilan mereka yang berhasil karena Tax Amnesty-nya didahului oleh reformasi perpajakan,” tegas Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Ecky Awal Mucharam saat dihubungi, Rabu (25/5).

Reformasi perpajakan ini disebutkan dia menyangkut aspek regulasi, aspek administrasi dan aspek institusi perpajakan. Sejak awal pembahasan di fraksi-fraksi, Fraksi PKS di DPR RI menekankan bahwa pengampunan pajak merupakan bagian tak terpisahkan dari reformasi perpajakan.

“Salah satu kuncinya ada di revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Tanpa disertai reformasi perpajakan negara tidak akan punya ‘bargaining position’ yang kuat dalam Tax Amnesty,” jelas Ecky.

Selain itu, ia juga menilai tarif tebusan dalam Pengampunan Pajak terlalu rendah. Dalam draft RUU Pengampunan Pajak, tarif tebusan berkisar 2 hingga 6 persen untuk non-repatriasi dan 1 hingga 3 persen untuk repatriasi.

Rendahnya tarif tebusan ini dinilainya dapat menciderai rasa keadilan dan membuat negara kehilangan banyak potensi penerimaannya. Padahal, mayoritas fraksi di DPR meminta tarif tebusan dinaikan menjadi 5 hingga 15 persen.

Terakhir, Ecky mengkritisi data dan informasi tentang harta peserta Pengampunan Pajak. Khususnya Pasal 15 yang menyatakan bahwa Surat Permohonan Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.

“Data dan informasi dari Pengampunan Pajak harus tetap dapat digunakan untuk penyidikan, penyelidikan, dan pengusutan pidana lainnya seperti korupsi, narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia,” demikian Ecky.