Jakarta, Aktual.com — Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) menyatakan pengawasan data kartu kredit nasabah oleh Direktorat Jenderal Pajak berpotensi membuat masyarakat membudayakan transaksi tunai daripada elektronik.

“Dampaknya orang lebih memilih transaksi tunai kalau mereka tutup kartu kredit. Kalau pindah ke tunai, bukan hanya merugikan masyarakat sendiri harus bawa banyak uang, perbankan juga mengalami penurunan,” kata Manajer Umum AKKI Steve Marta pada forum diskusi oleh Alumni Universitas Padjajaran di Jakarta, Rabu (25/5).

Steve mengatakan dampak terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.39/2016 terkait kewajiban bank atau lembaga kartu kredit untuk melaporkan data nasabah kepada Dirjen Pajak tidak akan berdampak signifikan terhadap perbankan dan penurunan konsumsi masyarakat.

Menurut dia, dampaknya adalah peralihan instrumen yang dipakai masyarakat untuk bertransaksi dari elektronik ke tunai untuk menghindari pengawasan rincian transaksi yang dibutuhkan Dirjen Pajak.

Akibatnya, pemerintah pun akan mengeluarkan biaya lebih besar untuk mencetak uang tunai dan perputaran ekonomi juga tidak berjalan serta berimbas positif pada perbankan.

Selain itu, nilai transaksi ganjil membuat ada pembulatan yang memaksa masyarakat harus membayar lebih tinggi.

“Kalau belanja nilai transaksinya ganjil kan susah, buat uang logam saja mahal. Akhirnya pembulatan ke atas. Dampaknya lebih ke ‘high cost’,” ujar Steve.

Ia menyarankan Dirjen Pajak harus memberikan sosialisasi dan meyakinkan bahwa keamanan data nasabah terjamin karena banyaknya penutupan kartu kredit di beberapa bank berawal dari rentannya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.

“Yang kami pentingkan adalah jaminan data nasabah tidak akan bocor. Mekanisme pelaksanaan juga harus jelas karena saya ragu kesiapan bank pada 31 Mei untuk penyampaian laporan,” kata Steve.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan