Jakarta, Aktual.com — Penggunaan hak diskresi oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang ujungnya untuk memberikan izin reklamasi di Pantai Utara Jakarta dilakukan dengan menetapkan nilai kontribusi tambahan kepada pengembang.
Diskresi atau yang disebut Ahok sebagai ‘Perjanjian Preman’ itu dilakukan mantan bupati Belitung Timur pada Maret 2014, sementara landasan hukum penggunaan diskresi yakni Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014 baru disahkan Oktober 2014.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menekankan seharusnya Ahok berkoordinasi terlebih dulu dengan Kementerian Dalam Negeri sebelum memutuskan kontribusi tambahan kepada pengembang.
Apa tanggapan Mendagri Tjahjo Kumolo selaku atasan dan pembina Ahok (kepala daerah)?
“Saya kira, kalau kepala daerah mengikuti aturan main, mengikuti payung hukum, saya kira tidak ada masalah,” terang Tjahjo usai penutupan Diklat bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Jakarta Sabtu malam, ditulis Senin (30/5).
Disampaikan, kepala daerah hendaknya tidak takut dalam melakukan inovasi dan atau terobosan kebijakan atau diskresi. Dengan catatan, kewenangan diskresi itu diambil dengan merujuk pada aturan yang ada. Dalam hal ini UU Administrasi Pemerintahan.
Selain itu, diskresi yang diambil tidak disertai dengan tujuan tertentu. Misalnya untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain. Diskresi juga bisa dilakukan dengan syarat tidak ada indikasi gratifikasi kepada pejabat bersangkutan.
Bagaimana jika penggunaaan diskresi Ahok akhirnya menimbulkan kegaduhan di masyarakat?
“Di Jakarta ini, dari sisi aspek penegakan hukum, KPK melihat ada potensi korupsi atau tidak. Kalau niatnya diskresi kepala daerah tidak menimbulkan gratifikasi, tidak memperkaya kelompok tertentu, tidak ada masalah,” jelas Tjahjo.
Diungkapkan Tjahjo, Presiden Joko Widodo dalam menjalankan roda pemerintahan telah membuat skala prioritas masalah deregulasi. Saat ini ada 42 ribuan lebih pemangku kebijakan terikat dengan berbagai aturan. Dari Undang-Undang sampai peraturan Bupati/Walikota.
Aturan yang tumpang-tindih ini akan disederhanakan sehingga kepala daerah tidak kesulitan dalam mengeksekusi setiap kebijakan sejalan dengan paket kebijakan ekonomi Presiden Jokowi. Ia lantas mempertanyakan jika kepala daerah tidak bisa melakukan inovasi dan terobosan di daerah yang dipimpinnya.
“Intinya untuk kemaslahatan masyarakat yang dipimpinnya. Kalau kepala daerah tidak berani mengambil keputusan untuk kemaslahatan buat apa. Soal resiko, semua ada resiko, hati-hati saja. Hati-hati pun masih bisa kepeleset,” ucapnya.
“Makanya kita undang istri (kepala daerah) untuk mengingatkan. Jangan ada Gubernur yang terjebak hanya karena rayuan istri. Mohon maaf, ada juga, karena tuntutan istri,” sambung Tjahjo.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby