Jakarta, Aktual.com — Industri Jasa Keuangan (IJK) masih dibayangi oleh adanya aksi fraud, entah itu dilakukan oleh pihak internal maupun eksternal lembaga keuangan tersebut.

Direktur Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Krisna Wijaya menyebutkan, di tengah perlambatan perekonomian dengan ditandai pertumbuhan ekonomi kuartal I 2016 yang hanya 4,93 persen, dan ditandai penurunan pengucuran kredit, untuk itu menjadi tantangan IJK, terutama perbankan untuk menggenjot pertumbuhan, tanpa mengurangi prinsip goverance dan kehati-hatian (prudent).

“Jika Industri Jasa Keuangan tidak hati-hati, akan berpeluang memunculkan tindakan fraud di perbankan. Apalagi, risiko yang muncul akibat penyalahgunaan fraud dari ulah manusia telah memberikan kerugian besar bagi perusahaan maupun nasabah,” tandas dia saat acara Seminar Anti Fraud 2016, di Jakarta, Rabu (1/6).

Menurut dia, kejadian fraud bisa dilakukan oleh karyawan perusahaan itu sendiri dengan orang luar maupun akibat kerjasama antara karyawan dengan orang luar. Namun kendati perusahaan itu sudah melakukan manajemen anti-fraud, tetap saja terjadi berulangkali.

“Contohnya, yang terjadi pada April lalu ketika salah satu bank daerah terkena risiko kredit gara-gara adanya kredit fiktif pada program kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp19 miliar,” tandas dia.

Hal ini, kata dia, tentu saja harus menjadi perhatian pelaku di industri jasa keuangan. Pasalnya, kendati pengawasan sudah kuat, bahkan melekat (waskat), tetap saja aksi fraud masih terjadi.

Dia sendiri menyayangkan adanya aksi fraud di program KUR. Mengingat, KUR adalah program andalan pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan total dana yang disiapkan untuk program ini sepanjang 2016 puluhan triliun rupiah. Apalagi 90 persen dari total dana KUR tersebut akan disalurkan oleh bank-bank milik negara.

“Nah, jangan sampai peluang yang diberikan pemerintah untuk meningkatkan kredit UMKM menjadi bumerang bagi kita karena pihak IJK mengurangi kehati-hatian (prudent) pada penyaluran kredit sektor tersebut,” ujar Krisna.

Selain itu, ada juga ancaman fraud yang datang dari layanan bank di alat pembayaran menggunakan kartu (APMK). Berdasarkan data kepolisian selama tiga tahun terakhir, ada 5.500 kasus skimming di dunia. Sebanyak 1.549 kasus di antaranya terjadi di Indonesia.

Skimming merupakan aktivitas penggandaan informasi atau pencurian data yang terdapat dalam pita magnetik (magnetic stripe).

“Itu tentu sangat mengkhawatirkan. Makanya transaksi APMK tetap berpotensi melahirkan fraud. Apalagi masih ada ancaman lain dalam layanan kartu kredit seperti terkait aturan mengenai kewajiban perbankan melapor data transaksi kartu kredit kepada DJP Kementerian Keuangan,” papar Krisna.

Dengan kondisi itu, kata dia, jika tidak diantispasi maka menjadi tantangan besar bagi dunia perbankan terutama atas potensi berkurangnya nasabah kartu kredit.

Krisna kembali menegaskan, dari beragam kejadian yang ada, risiko fraud bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, karena ada niat dari pegawai dan peluangnya juga ada. Kedua, karena ada niat dari pegawai padahal peluangnya sebenarnya tidak ada. Ketiga, karena adanya kesempatan, walaupun pada awalnya pegawai tidak punya niat melakukan fraud.

“Manajemen anti-fraud harus mengantisipasi ketiga sebab dari fraud tersebut. Karena dengan masih maraknya kejadian fraud, maka sistem yang ada saat ini mulai dipertanyakan tentang efektifitas desain dan praktik sistem manajemen anti-fraud perusahaan tersebut,” pungkas Krisna.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka