Jakarta, Aktual.com — Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Tito Sulistio sepertinya sudah menyerah terhadap laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkait semua sentimen yang tak mampu dongkrak IHSG.
Pasalnya, semua sentimen yang ada, kendati dipandang positif oleh pemerintah, seperti laju inflasi Mei 2016 yang mencapai 0,24 persen dan keputusan rating Standard & Poor’s (S&P) yang kembali mengukuhkan investment grade tetap saja tak mampu menolong IHSG.
Maka Tito hanya bisa mengklaim, bahwa jika RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) diundangkan dapat mengerek IHSG keluar dari zona merah. Padahal hal itu belum tentu menjadi sentimen positif.
“Keputusan S&P yang memberikan peringkat utang Indonesia di level BB+ telah memupuskan momentum kenaikan lanjutan IHSG,” ujar dia BEI, Jakarta, Kamis (2/6).
Dengan kondisi itu, kata dia, keputusan tersebut tidak sejalan dengan ekspektasi pasar yang mengharapkan peringkat lebih tinggi lagi.
Menurutnya, peluang terakhir dari pasar modal domestik masih menyisakan satu sentimen utama, yaitu pembahasan RUU Tax Amnesty di DPR. Tito mengklaim, jika RUU itu disahkan, akan mendorong penguatan harga saham maupun obligasi.
“Semoga RUU Tax Amnesty yang akan di sahkan, juga akan diikuti oleh masuknya dana repatriasi,” kata dia.
Pasalnya, menurut dia, potensi dana repatriasi dari pengampunan pajak yang akan masuk ke pasar keuangan dalam negeri berkisar antara Rp2.000 triliun-Rp2.600 triliun.
“Dengan masuknya dana ini, maka belanja pemerintah akan membaik,” ucap Tito.
Lebih lanjut dia berharap, pejabat pemerintah tidak mengeluarkan pernyataan yang kontraproduktif dengan tren perbaikan sejumlah indikator makroekonomi nasional.
Tito mencontohkan, pernyataan kontraproduktif tersebut dilontarkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yudhi Chrisnandi.
Yudhi Chrisnandi sempat menyampaikan pernyataan ke publik bahwa pihaknya akan memecat sebanyak satu juta pegawai negeri sipil (PNS). “Kenapa harus ada pemecatan seperti itu?” kata Tito mempertanyakan.
Sikap pejabat pemerintah seperti itu, menurut Tito, akan memicu kekhawatiran para pelaku pasar modal, terkait kondisi keuangan negara.
“Padahal bisa dilakukan cara lain, seperti memindahkan ke perusahaan BUMN,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka