Jakarta, Aktual.com — Wakil Ketua Komisi V DPR RI Muhidin Mohamad Said membantah pernah menghadiri sebuah pertemuan informal dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Taufik Widjojono.
“Saya tidak tahu, tanya saja sama Sekjen,” ujar Muhidin seusai diperiksa penyidik, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (2/6).
Pertemuan informal itu diungkap oleh Sekjen Kementerian PUPR, saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir. Diakui Taufik, pertemuan itu terjadi pada 14 September 2015, sebelum digelarnya rapat kerja antara Komisi V dengan Kementerian PUPR.
Dalam pertemuan, para pimpinan Komisi V Fary Djemi Francis, Lazarus, Yudi Widiana, Michael Wattimena dan Muhidin serta beberapa Kapoksi, menyampaikan adanya keinginan mereka untuk menyalurkan program aspirasinya menjadi proyek infrastruktur.
Mengenai penyaluran program aspirasi berupa proyek infrastruktur ini pun coba dikonfirmasi ke Muhidin. Kali ini politikus senior di Partai Golkar tidak mengelak, bahwa ada proyek yang anggarannya dari program aspirasi anggota Komisi V.
“Itu aspirasi,” singkat Muhidin.
Dalam surat tuntutan Abdul Khoir, tertuang isi pemeriksaan Taufik saat menjadi saksi dalam sidang, dimana dia menjabarkan pertemuan informal antara pimpinan Komisi V dan Kementeria PUPR.
Pertemuan itu sejatinya tidak resmi, lantaran undangannya dikirim lewat SMS dari Sekretariat Komisi V bernama Prima. Bisa dikatakan tidak resmi, karena pertemuan itu tidak ada notulennya maupun berita acara.
Abdul Khoir didakwa oleh penuntut umum pada KPK telah menyuap empat anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti sebesar 328 ribu Dollar Singapura dan 72.727 Dollar AS, Budi Supriyanto sebesar 404 ribu Dollar Singapura, Andi Taufan Tiro Rp2,2 miliar dan 462 ribu Dollar Singapura serta Musa Zainuddin senilai Rp4,8 miliar dan 328 ribu Dollar AS.
Suap itu diberikann agar anggota DPR itu menyalurkan program aspirasinya melalui proyek infrastruktur di Kementerian PUPR.
Selain itu, dia juga diyakini menyuap Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional IX Amran H Mustari dengan uang sejumlah Rp16,5 miliar dan satu buah handphone seharga Rp11,5 juta.
Uang itu diberikan, supaya Amran menggiring proyek-proyek yang dianggarkan dari program aspirasi Komisi V DPR, supaya jatuh ke tangan PT WTU.
Artikel ini ditulis oleh: