Dari kiri ke kanan, Letjen TNI (Purn) Sayidiman Soerjohadiprodjo, Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Shihab, Moderator, Tarman Azam dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swarsono saat diskusi di acara Simposium Nasional bertema "Mengamankan Pancasila Dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (1/6/2016). Penyelenggaraan Simposium ini penting karena berangkat dari keprihatinan pudarnya pemahaman Pancasila oleh generasi muda dan maraknya paham komunisme dan Marxisme. AKTUAL/TINO OKTAVIANO

Jakarta, Aktual.com — Simposium anti-Partai Komunis Indonesia (PKI) bertajuk Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain yang berlangsung tanggal 1-2 Juni 2016 hari Kamis di Balai Kartini, Jakarta menghasilkan sembilan rekomendasi.

Pertama, sejarah mencatat bahwa PKI telah melakukan pemberontakan pada tahun 1948 berpusat di Madiun dan tahun 1965 yang biasa disebut Gerakan 30 September (G30S), keduanya dianggap oleh simposium merupakan usaha merebut kekuasaan yang akan disusul dengan pergantian ideologi negara dari Pancasila ke Komunis.

Kedua, berdasarkan hal tersebut, simposium menilai sudah sepantasnya PKI yang seharusnya meminta maaf pada rakyat dan Pemerintah Indonesia dan menuntut agar PKI dengan kesadaran membubarkan diri dan menghentikan semua kegiatan-kegiatan dalam bentuk apapun yang dinilai oleh simposium sebagai usaha eksistensi yang berawal sejak reformasi dengan melaksanaka kongres sebanyak tiga kali, memutarbalikan sejarah, menyebar video dan film yang sifatnya menghasut serta fitnah dengan melimpahkan kesalahan pada Orba, TNI dan umat Islam.

Ketiga, bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa karena dua pemberontakan PKI berhasil digagalkan sehingga Pancasila tetap ditegakkan dan menyesalkan dalam kedua pemberontakan tersebut telah jatuh sejumlah korban jiwa baik dari pemerintah, TNI, rakyat sipil maupun dari pihak pemberontak PKI sehingga menjadi luka sejarah yang cukup panjang.

Keempat, telah terjadi rekonsiliasi sosial dan politik secara alamiah dari anak atau cucu dari eks PKI dan organisasi di bawahnya yang terlibat konflik masa lalu tersebut sehingga saat ini tidak ada lagi stigma yang tersisa pada mereka karena hak-hak sipilnya telah pulih kembali bahkan beberapa di antaranya ada yan menempati osisi penting di Indonesia dan tidak dipermasalahkan. Karenanya simposium memandang tidak lagi mencari-cari jalan rekonsiliasi, tetapi mengukuhkan dan memantapkan rekonsiliasi sosial dan politik alamiah yang telah berlangsung.

Kelima, meminta dengan sangat kepada pemerintah, LSM dan masyarakat untuk tidak lagi mengutak-atik kasus masa lalu, karena akan membangkitkan luka lama, memecah belah kesatua bangsa dan memicu konflik horizontal berkepanjangan. Simposium berpandangan akan lebih bijak dan bermanfaat apabila melupakan masa lalu dan melihat ke depan serta mengutamakan kepentinga negara da bangsa daripada kepentingan golongan dalam mencapai cita-cita bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarka Pancasila.

Keenam, meminta pemerintah konsisten menegakkan Pancasila Tap MPRS XXV Tahun 1966, UU 27 Tahun 1999 Jo KUHP pasal 107 dan 169 tentang pelarangan terhadap PKI dan semua kegiatan-kegiatannya serta menindak setiap kegiatan yan terindikasi upaya membangkitkan PKI. Simposium juga memandang Tap MPR RI Nomor 1 Tahun 2003 yang memperkuat ketentuan pelarangan Komunis di Indonesia seyogyanya dimasukan dalam amandemen UUD 1945.

Ketujuh, fenomena kebangkitan PKI tidak terlepas dari perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali tahun 1999-2002 yang dibajak liberalisme, sehingga UUD hasil amandemen tidak lagi dijiwai oleh Pancasila, melainkan individualisme dan liberalisme dengan kebebasan nyaris tanpa batas yang memberi jalan membangkitkan PKI, karenanya simposium mendesak pemerintah dan MPR untuk mengkaji ulang UUD hasil amandemen itu agar dijiwai oleh Pancasila.

Kedelapan, dalam rangka mengamankan Pancasila dari ideologi yang bertentangan, simposium mendesak pemerintah memasukkan atau menguatkan nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum pendikan formal mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi termasuk pendidikan informal. Pemerintah juga dipandang perlu melakukan sinkronisasi atau menerbitkan undang-undang baru yang dapat mengikat semua pemangku kepentingan pendidikan dalam arti luas.

Kesembilan, Mengajak segenap komponen bangsa untuk meningkatkan integrasi dan kewaspadaan nasional terhadap ancaman dari kelompok anti pancasila maupun asing beserta proxy-nya yang tidak akan pernah berhenti berusaha agar Indonesia dalam keadaan tidak stabil dan kuat. Simposium sepakat upaya-upaya proxy-proxy tersebut bisa dilancarkan melalui bidang Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan bahkan dalam bidang HAM dan Narkoba.

Ketua Panitia Pengarah Simposium anti-PKI tersebut, Kiki Syahnakri mengatakan rekomendasi simposium tersebut akan disampaikan pada pemerintah untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah.

“Nanti rekomendasi ini akan diteruskan ke pemerintah sebagai salah satu masukan selain rekomendasi dari simposium membedah tragedi 1965 dari aspek sejarah di Hotel Aryaduta yang lalu,” katanya selepas acara simposium.

Kiki juga mengatakan pertemuan dua panitia Simposium akan tetap dilaksanakan, namun dia belum bisa menjelaskan kapan waktu pastinya hal tersebut akan dilaksanakan.

“Kami akan adakan koordinasi dengan simposium Aryaduta, tapi kapannya saya belum bisa jawab, harus dibicarakan dulu antara kami dan dilanjutkan komunikasi dengan mereka,” katanya.

Simposium anti-PKI ini akan dilanjutkan dengan apel siaga dan longmarch dari Masjid Istiqlal ke Monumen Nasional atau depan Istana Kepresidenan untuk melakukan aksi damai.

“Kita akan lakukan orasi juga besok, tapi kami tegaskan aksi ini akan berlangsung damai dan kondusif,” tutur Kiki.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara