Jakarta, Aktual.com — Sektor perbankan termasuk industri jasa keuangan (IJK) yang masih menyimpan potensi fraud atau penyimpangan yang tertinggi hingga saat ini.

Berdasar data yang dikumpulkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 12 Mei 2016, dibanding sektor keuangan lainnya, proses sengketa yang berasal dari sektor bank masih tertinggi mencapai 54 persen.

“Memang sektor yang paling dominan dari bank. Kemudian sektor asuransi sebanyak 26 persen, lembaga pembiayaan 12 persen, dan pasar modal paling kecil sebanyak 8 persen,” tutur Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Anto Prabowo saat acara edukasi wartawan di OJK, di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (4/6).

Sejauh ini, kata dia, OJK sudah menerima respon nasabah produk investasi keuangan sebanyak 40.229 atau 63 persen berupa pertanyaan soal produk investais. Ada 19.617 atau 31 persen berupa informasi yang masuk ke OJK terkait produk investasi.

“Dan untuk pengaduan atau sengketa yang kami terima dari konsumen produk investasi sebanyak 3.805 sengketa atau pengaduan yang diajukan ke OJK atau sekutar 6 persen,” tandas dia.

Menurut Anto, semua bank, baik itu yang masuk kategori bank BUKU (bank umum kelompok usaha) I hingga BUKU IV, pernah diadukan oleh nasabahnya. Termasuk juga untuk perusahaan asuransi, hampir semuanya pernah diasukan oleh konsumen atau nasabahnya.

Untuk itu, ia meminta harus ditingkatkan terus pelayanannya. “Tentu saja perlu terus pembenahan layanan oleh lembaga jasa keuangan tersebut. Karena konsumen itu harus dilindungi. Tapi masih ada bank yang tidak mengikuti pedomanya pelayanan konsumen,” tandas dia.

Namun demikian, ia mengakui, dari banyak pengaduan tidak semuanya kesalahan itu berasal dari pihak penyedia jasa keuangan itu. Ada juga yang berasal dari kesalahan konsumen sendiri. Apalagi memang dilihat dari aspek literasi keuangan atau keterpahaman masyarakat terhadap produk jasa keuangan juga masih rendah.

Survey yang pernah dilakukan OJK terkait literasi keuangan hanya sebanyan 21,8 persen dari total penduduk Indonesia. “Sehingga masih banyak orang yang tidak memahami poduk jasa keuangan. Dan temuan OJK memang masih belum banyak yang memahami dengan baik,” jelas Anto.

Hal ini terjadi karena banyak masyarakat yang terakhir untuk membeli produk jasa keuangan itu hanya melihat dari aspek keuntungan jasa. Tidak melihat dari sisi risikonya.

Namun demikian, lanjut Anto, ketika pengaduan itu sudah masuk ke OJK, pihaknya akan terus menanganinya, kendati sesuai aturan ada jangka waktu penyelesaiannya.

“Kalau proses penanganan di OJK itu selama 40 hari kerja di OJK itu harus sudah sampai di keputusan verifikasi dan klarifikasi. Baru setelah itu kami akan panggil pihak lembaga keuangannya, apakah ada aturan yang dilanggar atau tidak,” beber Anto.

Pihaknya pun terus meminta ke pihak lembaga keuangan agar tetap faktor perlindungan konsumen menjadi perhatian utama. “Jadi dalam mekanisme kontrolnya itu, si pihak bank, misalnya, dalam penanganan kasus yang dilakukannya itu harus diinput di sistemnya,” jelas dia.

Berdasar Peraturan OJK dalam POJK Nomor 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, sebelum dinawa ke OJK, terkebih dahulu diselesaikan di internal dalam 20 hari kerja setelah diterimanya aduan.

Sejauh ini, OJK sendiri bekerja sama dengan pelaku industri membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) yang dapat dimanfaatkan oleh para konsumen jika menemui masalah sengketa dari produk yang dibelinya.

“Bisa hubungi LAPS dulu (jika mendapat masalah). Saat ini sudah ada enam LAPS,” pungkas Anto.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka