Jakarta, Aktual.com — China dan Prancis sepakat meningkatkan kerjasama anti terorisme untuk mengantisipasi meningkatnya aksi terorisme di kedua negara, demikian seperti dikutip dari kantor berita Xinhua, Minggu (5/6).

Seperti diketahui dalam beberapa tahun terakhir ratusan orang tewas di Xinjiang, China Barat yang mayoritas merupakan warga suku muslim Uighur. Pemerintah China menuding suku ini ditunggangi oleh kelompok garis keras untuk mendidikan negara Turkistan Timur.

Laksamana Sun Jianguo, wakil kepala staf Pasukan Pembebasan Rakyat China, mengatakan kepada Sekretaris Jenderal Pertahanan dan Keamanan Nasional Prancis, Louis Gautier, bahwa China dan Prancis memiliki ikatan baik antar-militer.

“China sangatlah terpengaruhi oleh sejumlah serangan teroris di Prancis pada tahun lalu,” kata Sun kepada Gautier dalam pertemuan sampingan di forum keamanan Singapura, kata Xinhua pada Sabtu malam.

Kelompok bersenjata IS mengklaim berada di balik serangkaian serangan di sejumlah titik hiburan di Paris pada November, serangan yang menewaskan 130 orang dan melukai banyak orang lain.

“Saya yakin bahwa perang melawan terorisme itu sebagian besar merupakan perang terhadap intelijen,” kata Xinhua mengutip Sum, “China berharap melakukan kerjasama intelijen dengan Prancis terkait masalah penangkalan terorisme”.

Prancis sepakat meningkatkan kerjasama intelijen yang berhubungan dengan terorisme, Xinhua mengutip Gautier yang menanggapi pernyataan Sum.

China telah mencari dukungan dari pihak Barat untuk “perang melawan teror” mereka sendiri sejak adanya serangan di Paris.

Pemerintah menyalahkan kebanyakan serangan teroris di China kepada pegaris keras pemberontak. Namun sejumlah kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa kebijakan mereka yang mengekang di wilayah itulah yang menyebabkan terjadinya kerusuhan, pemerintah menyangkal tuduhan tersebut.

Sejumlah negara barat pada umumnya enggan berbagi dalam intelijen dengan China atau bekerjasama dengan mereka, sementara pakar mandiri masalah Uighur mengatakan bahwa China hanya memberikan sedikit bukti untuk membuktikan keberadaan kelompok keras di Xinjiang.

Amerika Serikat dan Uni Eropa juga telah memberikan kritikan mereka akan apa yang mereka lihat sebagai pelanggaran hak asasi manusia di wilayah itu, termasuk penekanan terhadap sejumlah praktik keagamaan dan budaya.

Pada pekan lalu, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan bahwa kerjasama anti-teror mereka dengan China itu terbatas, dan mereka juga menyampaikan kekhawatiran akan kurangnya keterbukaan dalam kampanye anti-teror China.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara