Jakarta, Aktual.com — Pemerintah saat ini jangan bermimpi dapat menciptakan ketahanan pangan, apalagi kedaulatan pangan. Pasalnya dengan sistem kebijakan pangan yang saat ini masih salah urus, menjadikan kontradiksi di mata rantai pangan.

Salah urus pangan ini yang menyebabkan satu sisi harga pangan melambung tinggi, namun di sisi lain justru tidak menjadi stimulus dan daya tarik produsen, sehingga berdampak malah pada turunnya produksi.

“Di saat harga komoditas dunia menurun, harga pangan di Indonesia malah melonjak. Namun hal ini justru tidak mendorong para produsen. Ini bertabrakan dengan teori ekonomi,” ungkap Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, di Jakarta, Senin (6/6).

Kondisi ini terjadi karena inkonsistensi kebijakan yang hanya mengedepankan pencitraan dan lips service belaka. Makanya, kalau begitu lupakan saja kedaulatan pangan. Karena kedaulatan pangan itu ujung tombaknya adalah subject man atau petani atau peternak itu sendiri.

“Tapi masalahnya petani tidak bergairah. Mereka tidak diuntungkan dengan kenaikan harga. Padahal secara teori ekonomi kalau harga pasar tinggi mestinya produksi juga bergairah. Tapi di Indonesia tidak. Ini yang lucu,” sindir dia.

Hal ini terjadi, karena lonjakan harga yang terjadi itu bukan menguntungkan pihak petani dan peternak atau para produsen pangan itu. Mestinya jika pemerintah berencana menciptakan kedaulatan pangan, maka kebijakannya jangan salah urus lagi, harus bersifat subject man.

“Untuk itu, Indef berharap kebijakan ke depan lebih banyak insentif ekonomi buat para petani. Karena selama ini, setiap petani mengalami panen, harga tinggi di pasar tidak berdampak kepada petani. Kebijakan salah urus ini lah yang selama ini menjadi biang kerok,” papar dia.

Padahal mestinya, sebagai negara agraris mestinya bisa berkontribusi tak hanya kepada pasar domestik tapi juga pasar internasional.

“Tapi saat ini sebagai ketahanan pangan saja tidak mampu, apalagi kedaulatan pangan, dan menjadi pemasok pangan dunia. Susah kalau masih salah urus meski potensinya tetap ada,” tandas dia.

Selain dari sisi hulu, pemerintah juga diminta untuk memperbaiki sektor hilirnya yang juga dikelola secara salah urus. Kata dia, selama ini sistem persaingan usaha telah rusak. Tapi sayangnya, pemerintah bukan memperbaikinya malah ikut lari.

“Pemerintah malah banyak memperkeruh. Bukan menjadi solusi. Kebijakan pemerintah yang minta harga daging sapi Rp80 ribu menjadi masalah baru. Karena sisi produksinya belum terselesaikan,” papar dia.

Bahkan, ujar dia, kebijakan ini hanya sebagai pencitraan pemerintah semata. “Karena sengkarut dari sisi pangan ini belum teratasi. Bahkan harga pangan kita saat ini tertingi di semua negara,” tandas dia.

Enny kembali menegaskan, lebih lucunya lagi, selama ini pemerintah hanya mengandalkan impor. Padahal total komoditas global yang diimpor itu hanya 15 persen dari komoditas global.

“Jadi sangat berbahaya kalau kita sangat tergantung impor. Indonesia bunuh diri. Seperti beras, sekarang malah daging yang mau impor dari Australia,” cetus Enny.

Selama ini, untuk produk kedelai dan gandum, pemerintah sangat mengandalkan impor dari Amerika Serikat (AS). Mestinya, ketergantungan ini harus diatasi.

Selain pangan, dia juga menyorot impor energi yang jadi masalah besar. Padahal pangan dan energi jadi barang penting yang mestinya tak boleh impor.

“Pangan dan energi itu harga mati jangan sampai impor. Itu penting. Kuncinya produksi harus cukup. Tanpa itu (produksi yang tinggi), omong kosong mau stabilkan harga,” pungkas Enny.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka