Jakarta, Aktual.com — Angan-angan akan swasembada daging telah dikumandangkan pemerintah sejak 2011 lalu dengan menagmbil kebijakkan dikuranginya kuota impor yang hampir 60%. Di sisi itu, pemerintah berharap bahwa kebutuhan pasar akan dapat dipenuhi dengan keberadaan daging lokal. Hal itu mungkin saja, pasalnya, dalam sensus sapi yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik pada 2011 menunjukan bahwa populasi sapi di Indonesia mencapai 14.8 juta ekor.
Namun, Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Raya, Sarman Simanjorang mengatakan jika data populasi tersebut mencampurkan sapi milik masyarakat dengan sapi milik pemerintah. Alhasil, dari 14.8 juta sapi tersebut tidak semuanya dapat dijadikan sebagai stok nasional.
“Saya rasa ini yang perlu dibedah secara tuntas, jangan karena ego sektoral kementerian Pertanian dengan mengedepankan pencitraan seolah olah kita sudah layak swasembada,” ujar dia melalui pesan singkatnya, Jakarta, Kamis (9/6).
Hal itu dikarenakan, kata Sarman, swasembada daging yang dikumandangkan pemerintah tidak diiringi oleh data jelas yang dimiliki pemerintah.
”Setidaknya ada tiga data yang harus dipastikan valid dan pasti yaitu data produksi, data konsumsi dan data distribusi dengan dukungan transportasi,” jelas dia.
Data produksi memastikan berapa jumlah sapi lokal milik peternak tradisional yang dapat setiap saat dipasok ke pasar. Karena, data sensus yang ada hanya menghitung secara keseluruhan mulai dari anak sapi, sapi remaja dan dewasa. Kemudian, tidak juga ada data pasti apakah sapi dewasa tersebut bisa dijual dan dipotong untuk memenuhi kebutuhan pasar. Pasalnya, peternak tradisional hanya akan menjual jika dalam keadaan terdesak, saat tidak memiliki uang. Karena sapi hanya dijadikan tabungan bukan sebagai komoditas.
“Jika data ini tidak valid maka Pemerintah juga akan salah dalam mengambil kebijakan dalam hal ini kuota impor sebagaimana yang terjadi selama ini,” terang Sarman.
“Kemudian data konsumsi perkapita kita yang pasti,” sambung dia menjelaskan bahwa selama ini Kementerian Pertanian, Perdagangan, Kemenko Perekonomian dan BPS tidak memiliki data yang sama dalam hal data konsumsi perkapita.
Apalagi, lanjut Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta itu, jumlah kebutuhan daging setiap tahun hanya dihitung dari jumlah konsumsi perkapita pertahun dikalikan dengan jumlah penduduk, “Tanpa pernah mempertimbangkan kebutuhan kenaikan kelas ekonomi baru, kebutuhan turis manca Negara, expatriat dan kebutuhan dunia usaha,” ujar dia.
“Selanjutnya data distribusi harus dibenahi untuk memotong mata rantai biaya tinggi,” kata dia.
Dengan adanya ketiga data tersebut, pemerintah dapat memperbaiki tata niaga impor daging yang selalu mengedepankan keseimbangan permintaan dan ketersediaan. Impor, kata Sarman menjadi cara satu-satu memenuhi kebutuhan pasar jika sapi lokal tidak mampu memenuhi.
Olehnya, ia mengharapkan masing-masing kementrian bisa bekerja sesuia tupoksinya, Kementrian Pertanian bertanggungjawab dalam produksi.
“Kementrian Perdagangan fokus pada keseimbangan pasar demand dan suply,” tandas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka