Jakarta, Aktual.com — Pemerintahan Jokowi-JK secara tegas berkomitmen menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara poros maritim di dunia. Pada pidato pelantikannya, Presiden Jokowi menyatakan komitmennya terhadap perubahan tata kelola laut di Indonesia. Salah satu bentuk perubahan tata kelola laut yang wajib dilakukan adalah perlindungan laut di Indonesia.
Namun Indonesia Center For Environmental (ICEL) menyayangkan tindakan Jokowi mengingkari pernyataannya sendiri. Peneliti ICEL, Rayhan Dudayev mengamati hingga saat ini banyak kebijakan perlindungan laut yang tidak sejalan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Secara khusus Rayhan mencatat beberapa kebijakan di bidang kelautan dan pesisir yang tidak memperhatikan aspek perlindungan lingkungan hidup diantaranya yakni; Pemberian Izin Reklamasi di sejumlah kabupaten/kota di wilayah pesisir Indonesia, kemudian masuknya pengaturan kegiatan pertambangan bawah laut/lepas pantai dalam revisi Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, dan terakhir yakni lemahnya kebijakan pengelolaan dan pengendalian limbah di laut.
“Meningkatnya jumlah izin pelaksanaan reklamasi di sejumlah kabupaten/kota di pesisir Indonesia menimbulkan pertanyaan akan pembangunan laut yang tidak pro lingkungan,” katanya dalam rilis kepada Aktual.com, Jumat (10/6).
Izin pelaksanaan reklamasi diterbitkan tanpa didahului perencanaan yang mempertimbangkan lingkungan hidup, seperti tahapan inventarisasi lingkungan hidup. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (UU 32/2009) akan berdampak pada kerusakan.
“Akibat tidak dilaksanakannya inventarisasi lingkungan hidup, informasi yang didapatkan untuk pembangunan di laut tidak akan komprehensif. sehingga pembangunan di laut dan pesisir seperti proyek reklamasi tentunya akan berpotensi merusak ekosistem laut dan juga berdampak kepada penghidupan nelayan,” tegad Rayhan.
Inventarisasi lingkungan hidup merupakan salah satu materi peraturan pelaksana yang menjadi mandat UU 32/2009. Selain tidak dilakukannya inventarisasi lingkungan, absennya peraturan perencanaan lainnya seperti rencana tata ruang laut dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) juga turut menyumbangkan dampak terhadap eksositem dan nelayan.
“Tidak adanya perencanaan-perencanaan tersebut berdampak pada konflik di laut. Misalnya pada pelaksanaan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, dikarenakan tidak adanya perencanaan ruang, rencana reklamasi tumpang tindih dengan alur pelayaran, objek vital nasional seperti pipa gas, kepentingan nelayan dan biota laut yang berdampak pada aspek ekonomi, ekologis, sosial, bahkan gender,” tamdas Rayhan.
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka