Jakarta, Aktual.com — Aktivitas impor ikan, meski biasa dilakukan berbagai pihak dengan izin antara lain dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, kembali merebak dan dibahas pemangku kepentingan sektor kelautan dan perikanan.
Hal tersebut antara lain terkait dengan ditemukannya kasus sebanyak 2.000 ton ikan cakalang yang masuk melalui Pelabuhan Muara Baru, Jakarta, baru-baru ini.
Ditemukannya impor ikan tersebut menjadi pernyataan karena dalam sejumlah kesempatan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan stok ikan di kawasan perairan Indonesia dalam keadaan melimpah.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron dan sejumlah anggota DPR lainnya juga mengemukakan mengenai ihwal impor ikan itu saat rapat kerja dengan Menteri Susi di Jakarta, Rabu (8/6).
Herman mempertanyakan apakah ditemukannya impor ikan dalam jumlah yang banyak itu juga akibat dari peraturan yang telah dikeluarkan oleh pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan perbaikan sistem logistik di sektor kelautan dan perikanan juga bakal menurunkan tingkat impor komoditas tersebut pada masa mendatang.
“Jika sistem logistik sudah bagus maka impor juga dapat turun,” kata Menteri Susi.
Menurut Susi, memang ada industri perikanan yang masih mengandalkan impor ikan, tetapi jumlahnya hanya sedikit, begitu pula dengan impor salmon dari beragam penguasa restoran.
Dia juga menegaskan bahwa kebijakan impor dari dulu sampai sekarang selalu sama, bahkan pada saat ini jumlah impor komoditas sektor kelautan dan perikanan lebih terbuka dibanding masa-masa sebelumnya.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan impor ikan yang diperbolehkan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berdampak kepada pelemahan daya saing produk perikanan nasional.
“Klaim melimpahkan ikan di sebagian wilayah pengelolaan perikanan dalam negeri tanpa dibarengi dengan kesungguhan untuk memandirikan industri perikanan di dalam negeri, khususnya bagi kelompok usaha atau koperasi nelayan, berdampak terhadap gempuran produk impor di swalayan dan pasar-pasar tradisional,” kata Sekretaris Jenderal Kiara Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Senin (6/6).
Menurut Abdul Halim, hal tersebut dapat berujung kepada matinya tingkat daya saing produk perikanan yang ditangkap oleh nelayan nasional dan terjadinya alih profesi secara besar-besaran, khususnya bagi para ABK.
Bahkan, lanjutnya, gempuran produk impor perikanan itu juga dinilai bakal membuat tidak terjaminnya atau menurunnya kualitas produk perikanan di pasaran yang ada di dalam negeri.
Sekjen Kiara berpendapat bahwa pemberian izin impor ikan yang meluas juga karena terlampau fokusnya kKP pada urusan eksternal seperti memerangi praktik pencurian ikan secara ilegal.
Hal tersebut, lanjutnya, menjadi terlantarnya penataan permasalahan tidak terhubungnya sistem bisnis perikanan di dalam negeri.
Padahal, menurut dia, hal tersebut juga dapat berakibat pada pemberlakuan sejumlah praktek liberisasi perikanan seperti pembukaan kran impor.
Praktik liberalisasi perekonomian dinilai merupakan hal yang seharusnya tidak dilakukan guna mengembangkan secara penuh potensi sektor kelautan dan perikanan di Tanah Air.
Bahan baku Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo menyatakan industri pengolahan ikan di berbagai daerah kekurangan bahan baku hasil perikanan untuk diolah di pabrik.
“Iya betul, (industri pengolahan ikan) kekurangan bahan baku ikan tuna, cakalang,” kata Herwindo di Jakarta, Jumat (10/6).
Menurut dia, sejumlah daerah yang industri pengolahan ikannya kekurangan bahan baku jenis ikan tersebut terutama di Bitung, Sulawesi Utara.
Untuk itu, ujar dia, pemerIntah seharusnya dapat mengoptimalkan kapal-kapal di dalam negeri, baik buatan Indonesia maupun luar negeri, yang selama ini tidak boleh beroperasi.
KKP seharusnya, papar Herwindo, dapat mengawasi dengan VMS (alat pendeteksi gerakan kapal) bila takut ikan dibawa ke luar negeri, dan menaruh observer atau pengawas di dalam kapal.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa hasil tangkapan ikan bisa audit dengan baik dan benar. “Kalau saat ini kita impor bahan baku ikan, sama saja ibaratnya ‘anak sendiri kita gebukin, anak orang lain kita manja-manja,” kata Ketum Gappindo.
terkait dengan “cold storage” (fasilitas pendingin) yang belum siap, Herwindo mengemukakan bahwa kapal-kapal pengangkut ikan tersebut memiliki ruang pendingin yang bagus yang bisa dimanfaatkan.
Herwindo mengemukakan, pengurangan beban pajak terhadap perusahaan perikanan dinilai bukanlah merupakan solusi terhadap ketergantungan impor, tetapi yang paling penting adalah pembenahan terhadap sistem dan mekanisme logistik di berbagai daerah.
Dia berpendapat, dampak moratorium izin kapal perikanan yang dikatakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membuat ikan melimpah ternyata tidak betul mengingat kondisi yang ada terkait penangkapan ikan akhir-akhir ini.
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai bahwa kebijakan importasi ikan untuk menutup kekurangan bahan baku industri pengolahan di tengah kenaikan produksi ikan secara nasional adalah kejanggalan sistematis.
“Kebijakan ini mencederai nelayan kecil, yang menaruh harapan besarnya terhadap pemerintah. Terlebih, PDB (Produksi Domestik Bruto) perikanan yang meningkat,” kata Wakil Sekjen DPP KNTI Niko Amrullah di Jakarta, Kamis (9/6).
Niko mengingatkan bahwa BPS telah merilis angka deflasi di bulan April tahun 2016 yang mencapai 0,45 persen, dengan penyumbang deflasi di antaranya adalah kelompok bahan makanan termasuk ikan segar dan ikan olahan.
Menurut dia, kebijakan importasi ini kontra produktif dengan kebijakan yang ditempuh pemerintah sendiri dalam urusan kedaulatan di sektor hulu perikanan.
Ia berpendapat bahwa dibukanya investasi di sektor pengolahan perikanan, harus gayung bersambut dengan serapan produksi ikan dari nelayan domestik.
Diawasi ketat Sebelumnya, Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Nilanto Perbowo mengatakan impor ikan yang masuk ke Republik Indonesia diawasi dengan ketat dan sifatnya tidak meluas.
“Dalam hal izin impor ini KKP melakukan pengendalian dengan pengawasan yang sangat ketat dan memperhatikan asas pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan,” kata Nilanto Perbowo.
Menurut dia, KKP juga mempertimbangkan ketahanan pangan dan gizi, jaminan mutu dan keamanan pangan serta keberlanjutan industri ekspor atau tradisional.
Nilanto menambahkan, pemasukan hasil perikanan ini didasarkan pada beberapa prinsip penting yang mengutamakan kedaulatan pangan dan kepentingan nasional Prinsip pertama adalah ketentuan jenis ikan yang diimpor, dimana kondisi ikan yang sejenis di Indonesia tidak mencukupi, digunakan untuk industri berorientasi ekspor, hingga untuk keperluan pengalengan maupun industri pengolahan tradisional atau pemindangan.
Kemudian, prinsip kedua, impor ikan yang dilakukan hanyalah solusi jangka pendek dalam memenuhi kontinuitas ketersediaan bahan baku.Sedangkan prinsip ketiga adalah tidak membahayakan kesehatan konsumen, kesehatan ikan dan lingkungan perairan.
Terakhir prinsip keempat yang paling penting adalah memberikan ruang yang cukup bagi tumbuh kembangnya usaha pengolahan hasil perikanan, baik tradisional maupun skala industri.
Hal itu, ujar dia, juga disertai terkendalinya nilai impor hasil perikanan terhadap ekspor kurang dari 20 persen.
Tentu saja pengawasan impor dengan ketat dan sesuai aturan yang ada memang bagus, tetapi hal tersebut bukanlah solusi utama untuk menanggulangi ketergantungan impor.
Dengan melakukan pembenahan logistik dengan baik dan sistematis serta bermanfaat terutama dalam mengangkut hasil tangkapan nelayan ke konsumen secara langsung, hal itu dinilai lebih tepat dalam mengatasi ketergantungan impor ikan yang selama ini kerap dipermasalahkan.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara