Jakarta, Aktual.com — Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang hukuman kebiri belum didasari analisis medis yang tepat bagi pelaku, sehingga pemerintah diminta mengkaji ulang peraturan tersebut.
Pernyataan ini dikeluarkan ICJR menanggapi penolakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk dilibatkan sebagai eksekutor hukuman kebiri yang ditetapkan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016, yang mana salah satu alasannya adalah karena kebiri kimia tidak menjamin berkurangnya hasrat dan potensi perilaku kekerasan seksual pelaku.
“ICJR memandang bahwa surat dari IDI ini merupakan pukulan telak kepada pemerintah. Pernyataan IDI telah membulatkan kesimpulan bahwa perppu tersebut tidak didasarkan pada kajian dan analisis ilmiah yang mendalam oleh pemerintah,” ujar Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono dalam keterangannya yang diterima Jakarta, Sabtu (11/6).
Menurut dia, ICJR menganggap seharusnya sejak awal, Pemerintah sudah membuka partisipasi dan masukan dari banyak pihak, termasuk para pakar medis dan psikis.
“Pilihan Pemerintah untuk mengambil keputusan, tanpa kajian dan analisis mendalam, serta tidak melibatkan pihak-pihak yang berkompeten, termasuk para pakar medis dan psikis adalah sebuah tindakan fatal,” ucap Supriyadi, menambahkan.
Oleh karena itu, ICJR meminta Pemerintah membuka kajian dan analisis terkait penerbitan Perppu 1 Tahun 2016 itu.
Lembaga kajian hukum ini juga meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencermati adanya surat dari IDI itu, khususnya untuk meminta penjelasan Pemerintah terkait peraturan mengenai hukuman kebiri tersebut.
“Kami juga meminta Pemerintah menghormati posisi IDI dan Kode Etik Kodekteran Indonesia,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Umum IDI Prof. Dr Ilham Oetama Marsis menyampaikan agar pelaksanaan kebiri kimia dalam Perppu 1 Tahun 2016 tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor.
Penolakan ini diputuskan berdasarkan fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia, yang juga dianggap tidak sesuai dengan Sumpah Dokter serta Kode Etik Kedokteran Indonesia.
IDI juga mengusulkan agar pemerintah mencari bentuk hukuman lain sebagai sanksi tambahan.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Andy Abdul Hamid