Jakarta, Aktual.com — Koordinator Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno (UBK), Salamuddin Daeng menyayangkan kinerja pemerintahan di era Joko Widodo (Jokowi) nyaris tak bisa apa-apa.
Indikatornya, selain penerimaan negara dari sektor pajak jauh dari target dan terus merosot juga pemerintah era Jokowi ini malah dibebani banyak utang luar negeri, baik utang pemerintah maupun utang swasta.
“Kalau mau dilihat, ‘keberhasilan’ era Jokowi hanya berambisi dengan penerimaan negara yang berkali-kali lipat besarnya. Tapi sayangnya, penerimaan negara dari pajak dan non pajak malah jatuh semakin dalam dibandingkan tahun sebelumnya,” cetus Daeng kepada Aktual.com, Minggu (12/6).
Kondisi itu, sebut Daeng, membuat salah satu pilar ekonomi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) telah roboh. Hal ini tentu saja berakibat pada rentannya perekononian nasional.
Apalagi di saat yang sama, lanjut dia, ketergantungan pemerintah terhadap pasar ekspor investasi asing dan utang luar negeri sangat tinggi.
“Kondisi itu jelas telah menyebabkan Indonesia sangat rentan pada perubahan situasi ekternal. Sehingga, ketika harga komoditas global jatuh, sangat memukul sektor keuangan nasional dan sektor fiskal atau keuangan pemerintah,” tandas dia.
Seperti diketahui, penerimaan pajak hingga akhir Mei 2016 baru mencapai Rp364,1 triliun atau sekitar 26,8 persen dari target penerimaan pajak dalam APBN 2016 yang mencapai Rp1.360,2 triliun.
Kondisi melambatnya penerimaan sektor pajak itu karena penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari sektor minyak dan gas (migas) sangat rendah yang seiring anjloknnya harga minyak dunia.
Daeng kembali menambahkan, selain APBN yang gagal mecapai target, sektor keuangan secara keseluruhan pada era Jokowi mengahadapi masalah yang sangat serius.
“Mengapa? Ini dikarenakan utang pemerintah dan swasta yang semakin besar baik dari dalam negeri maupun luar negeri,” cetus dia.
Ia merilis hasil riset dari lembaga Rating Moody’s yang menyatakan, akibat nilai tukar yang tidak stabil menghadapkan utang pemerintah pada risiko yang besar.
“Sebanyak 38 persen dari obligasi pemerintah daerah merupakan mata uang asing dan investasi luar negeri. Ini sangat berbahaya, mengingat dalam beberapa bulan ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS trennya terus menurun,” papar Daeng.
Demikian juga dengan utang swasta yang menghadapi masalah jauh lebih berat. Bahkan Moody’s, kata dia, secara khusus memberikan warning terhadap utang swasta.
Untuk utang pemerintah sudah berada pada posisi 26,8 persen terhadap PDB dan utang swasta sebanyak 23,7 persen terhadap PDB. “Bahkan utang swasta telah meningkat 11,3 persen dari tahun 2010, yakni dari 12,4 persen terhadap GDP menjadi 23,7 persen terhadap GDP. Dandidominasi oleh mata uang asing,” tandas dia.
Menurut catatan BI, kata dia, utang luar negeri pemerintah hingga kuartal I 2015 sebesar US$ 151,312 miliar. Sedangkan utang luar negeri swasta senilai US$ 164,673 miliar.
Secara keseluruhan utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai US$ 315,985 miliar atau sekitar Rp4.202 triliun.
Sementara sepanjang pemerintahan Jokowi dari kuartal IV 2014 sampai kuartal I 2016, utang luar negeri pemerintah meningkat US$ 21,576 miliar, dan swasta meningkat senilai US$ 22,657 miliar
Data lainnya, lanjut dia, utang dalam negeri pemerintah dalam bentuk surat utang negera (SUN) mencapai Rp1.327,44 triliun dan mengalami peningkatan senilai Rp235,09 triliun antara September 2014 – Desember 2015.
“Sehingga pemerintahan Jokowi adalah yang paling berprestasi dalam menciptakan utang,” pungkas dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka