Foto udara kawasan reklamasi di Teluk Jakarta, Rabu (11/5). Pemerintah telah memutuskan moratorium reklamasi Teluk Jakarta hingga enam bulan mendatang sambil membuat rencana induk holistik, terperinci dan mendalam terkait proyek pembangunan Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) atau Proyek Garuda yang lebih dikenal dengan nama tanggul laut raksasa. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/16.

Jakarta, Aktual.com – Pembangunan 17 pulau buatan serta tanggul raksasa (giant seal wall/GSW) di Pantai Utara Jakarta bukanlah kebijakan tepat dalam menjawab persoalan banjir dan penurunan permukaan tanah (land subsidence) di ibu kota.

Sebab, kata post-doktoral di bidang hidrologi dari Utrecht University Belanda, Edwin Sutanudjaja, dalam keterangan tertulis yang diterima Aktual.com, Senin (20/6), penurunan muka tanah di Jakarta disebabkan pembangunan yang tak terkendali.

“Pembangunan mall dan properti dilakukan dimana-mana. Jadi, solusinya bukan reklamasi, melainkan pengendalian pembangunan,” ujarnya dalam diskusi yang digelar Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda di Kampus International Institute of Social Studies, Den Haag, Sabtu (18/6) waktu setempat.

Adapun faktor dominan pembangunan ibu kota yang tak terkendali dipicu sentralisasi Jakarta dan arus urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Edwin khawatir bila kedua megaproyek tersebut terealisasi, Teluk Jakarta akan menjadi septic tank raksasa. Pasalnya, pembangunan itu membendung aliran air dari 13 anak sungai dan arusnya mati.

“Jika kualitas air tidak bisa dijaga, justru nantinya perairan Teluk Jakarta akan menjadi pembuangan akhir yang sangat kotor,” pungkasnya.

 

Laporan: Fatah

Artikel ini ditulis oleh: