Jakarta, Aktual.com-Presiden Joko Widodo menempati posisi kedua setelah BJ Habibie dalam hal pertumbuhan utang pemerintah per tahun. Pendapat itu disampaikan oleh ekonom yang juga Wasekjen Partai Demokrat Ikhsan Mojo.

Berdasarkan data yang dikutip Ikhsan pada era pemerintahan Habibie pertumbuhan rata-rata hutang pemerintah mecapai 27,7 persen per tahun. Namun saat itu kondisi perekonomian Indonesia sedang dalam situasi krisis.

Hal itu disampaikan Ikhsan dalam dialog ekonomi yang digelar Partai Demokrat. Hadirkan sebagai pembicara  pengamat ekonomi Prof. DR Firmanzah (Rektor Universitas Paramadina), DR M. Ikhsan Modjo (Ekonom & Wakil Sekjen PD) dan pengusaha Wisnu Wardhana.

“Saat ini (pemerintahan Jokowi) kan tidak dilanda krisis, tapi rata-rata utang tahunan tumbuh 13,3 persen. Tiap tahun rata-rata utang nambah 17,88 miliar dollar AS,” kata Ikhsan dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Selasa (21/6).

Bahkan zaman Soeharto, menurut catatan Ikhsan, rata-rata pertumbuhan utangnya hanya 8,7 persen per tahun, atau 1,48 miliar dollar AS.

Pemeritahan Jokowi juga disebut lebih senang berutang dibandingkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Selama sepuluh tahun memerintah, rata-rata utang tahunan pemerintahan SBY tumbuh hanya 5,6 persen atau 9,31 miliar dollar AS.

Di era Megawati, utang hanya tumbuh 1,5 persen atau 1,07 miliar dollar AS per tahun.

Sementara itu, di era Abdurahman Wahid rata-rata utang tahunan malah tumbuh negatif sebesar 7,6 persen, atau 5,4 miliar dollar AS.

Ikhsan juga menyampaikan, pemerintah Jokowi dan para pendukungnya selalu berdalih bahwa utang pemerintah Jokowi untuk mendukung pembangunan infrastruktur.

Namun, menurut dia, faktanya tidak begitu.

Ikhsan menjelaskan, dalam dua tahun terakhir, yakni 2014-2016 pinjaman program meningkat lebih tinggi dibandingkan pinjaman proyek.

Pinjaman program tercatat mengalami kenaikan sebesar Rp 19,8 triliun atau 77,8 persen.

Sedangkan, pinjaman proyek naik Rp 1,3 triliun, atau naik hanya 2,8 persen. “Pinjaman proyek jelas untuk bikin proyek jembatan waduk. Kalau, pinjaman program adalah pelengkap dari biaya rutin, seperti belanja KL, bayar konsultan. Jadi, jargon pembangunan infrastruktur, Nawacita ternyata di implementasi anggarannya enggak benar,” pungkas Ikhsan.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara