Jakarta, Aktual.com – Kasus Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) menjadi ujian bagi kewarasan kita sebagai bangsa. Betapa tidak, dua lembaga yang selama ini dianggap paling kredibel di republik ini, yaitu BPK dan KPK, memiliki pandangan yang bertolak belakang atas kasus besar ini.
Hasil audit investigatif BPK yang menyebutkan terjadinya kerugian negara, tidak digunakan oleh KPK sebagai bahan penyidikan.Sikap KPK merupakan sebuah anomali atas sebuah penyelidikan yang telah berjalan lebih dari setahun sejak dilaporkan oleh sekelompok masyarakat.
Peristiwa tersebut tak urung menimbulkan pertanyaan atas kredibilitas hasil pemeriksaan auditor negara satu-satunya yang tahun ini dipercaya meng-audit lembaga dunia, IAEA.
Drama bermula saat Agus Rahardjo menyatakan di depan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR RI, Rabu 15 Juni lalu, bahwa kasus RSSW belum memenuhi unsur tindak pidana korupsi, meskipun juga belum bermaksud menghentikan proses penyelidikannya.
Jika sebelumnya hasil audit investigatif BPK selalu dijadikan sandaran lembaga anti rasuah ini untuk menyidik korupsi di berbagai instansi dan terbukti di peradilan, maka dalam kasus RSSW seperti tidak diindahkan. Padahal, audit investigasi BPK memiliki standar yang tinggi, dilakukan secara mendalam dan terutama merupakan permintaan KPK yang curiga atas temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta TA 2014.
Perkembangan mengejutkan berikutnya berasal dari Kantor BPK, Senin 20 Juni, saat Ketua BPK di depan para aktivis (AGSJ) yang kali ini mendukung auditor pemerintah independen bentukan Konstitusi ini, menyampaikan bahwa hasil pemeriksaan investigatif BPK bersifat final dan mengikat.
Harry Azhar Azis menyatakan bahwa tidak perlu dilakukan audit ulang, karena BPK telah melaksanakannya secara profesional dan sesuai standar. Namun ditambahkan, hasilnya tidak mungkin dibuka ke ranah publik karena merupakan dokumen pro-justitia yang dikecualikan oleh UU Keterbukaan Informasi Publik.
Tanpa terpengaruh tekanan pihak-pihak yang mempermasalahkan ataupun menginginkan dibukanya hasil audit investigatif tersebut, dikatakan hanya pengadilan yang berhak membuka dan memutuskan benar-tidaknya hasil audit, bukan individu, NGO, atau bahkan Presiden sekalipun.
Juga disampaikan bahwa lembaga yang tidak menindaklanjuti rekomendasi BPK berarti melawan Konstitusi. Kontroversi belum berakhir, pada hari yang sama Ketua KPK yang mendatangi kantor BPK kemudian menyampaikan lima poin dalam konferensi pers bersama Ketua BPK. Selain poin-poin normatif berupa penghormatan atas kewenangan masing-masing, kedua lembaga telah melaksanakan kewenangan mereka, berjanji akan terus melanjutkan kerjasama dalam pemberantasan korupsi, Ketua KPK kembali menyatakan bahwa belum ditemukan unsur Tipikor.
Namun juga, meminta Pemerintah DKI Jakarta untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK berupa mengembalikan kerugian Negara, karena merupakan amanat UU 15 Tahun 2004 yang jelas sanksi hukumnya. Respon Pemprov DKI atas perkembangan tersebut pada awalnya adalah siap untuk mengembalikan kerugian negara sebesar Rp191,3 Milyar (21 Juni 2016), namun kemudian berbalik arah (22 Juni 2016).
Peristiwa eksaks semata
Menjelang berakhirnya ibadah puasa Ramadhan tahun ini, lalu apa hubungannya kasus RSSW dengan Hari Raya Idul Fitri?
Perbedaan pandangan dua lembaga negara atas kasus yang menimpa Basuki Cahaya Purnama (Rembulan Penuh) ini serupa dengan perbedaan penentuan tanggal 1 Syawal. Bertahun-tahun terjadi perbedaan antara ormas-ormas islam dalam menentukan awal bulan baru yang mengakhiri bulan Ramadhan.
Metode penginderaan (Rukyatul Hilal) yang digunakan salah satu pihak atas penampakan bulan baru tidak selalu memuaskan pihak yang lain, sementara metode penghitungan (Hisab) juga belum tentu menghasilkan kesepakatan bersama.
Perbedaan kriteria atas berapa derajad penginderaan, metode penghitungan dan terutama keukeuh-nya masing-masing pihak menyebabkan keputusan berhari raya pada waktu yang sama sering tak tercapai. Padahal penentuan 1 Syawal sebenarnya bukan hanya peristiwa interpretasi atas teks-teks keagamaan belaka, namun juga melibatkan faktor alam yaitu Bulan yang eksaks, yaitu bisa diindera dan bahkan beberapa astronot pernah dikirim untuk menginjakkan kaki di permukaannya.
Dengan adanya perkembangan teknologi modern;teleskop di luar angkasa, seharusnya perbedaan pendapat 1 Syawal atas nama toleransi tidak perlu terus diperpanjang, jika memang terdapat saling pengertian dan kebersamaan untuk mempersatukannya.
Perbedaan 1 Syawal justru menunjukkan bahwa klaim kebenaran mutlak agama seolah-olah tereduksi di depan mata sains, karena penafsiran para pemeluknya. Harga yang harus dibayar umat atas perbedaan ini sangatlah mahal, berupa tergerusnya kebesaran dan kebersamaan umat, serta terkuranginya kegembiraan mereka karena harus merayakan kemenangan pada hari yang berbeda.
Bukankah pekik Takbir dan Tahmiddi-sunah-kan diucapkan berulang-ulang sebagai pengakuan kebesaran Tuhan untuk mengakhiri ibadah menahan nafsu, lapar, dan dahaga sebulan lamanya.
Mengembalikan kewarasan kita
Kembali ke kasus RSSW, dalam melihat kasus yang terkait dengan Gubernur DKI Jakarta ini, KPK dan BPK seharusnya menyamakan frame berfikir agar menghasilkan kesimpulan yang tidak berbeda. Dengan perkembangan terakhir atas kasus RSSW diatas, kredibilitas kedua lembaga negara terdegradasi, sebuah kondisi yang membunuh pelan-pelan hasil-hasil gerakan reformasi.
Publik membaca terdapat hal-hal yang janggal dan tidak eksaks sedang terjadi. Maka hasil audit investigatif janganlah sampai menjadi Kotak Pandora yang menyebabkan teka-teki besar bagi publik dan Republik 30 tahun kedepan sampai diperbolehkan oleh UU Kerahasiaan Negara untuk dibuka.
Hasil audit investigatif RSSW haruslah dibuka melalui mekanisme yang tidak melanggar undang-undang agar jelas duduk permasalahannya, dan kemudian ditetapkan hasilnya. Agar keadilan bisa ditegakkan di negara kita dan jelas siapa yang salah dan siapa yang benar.
Bahwa permasalahannya bukan hanya pada penggunaan peraturan yang berbeda, Perpres Nomor 40 Tahun 2014 dan Perpres Nomor 71 Tahun 2012 yang dibaca terpisah sehingga seolah-olah bertentangan secara substansial, namun belum tergali kejanggalan-kejanggalan dalam proses pengadaan tanah yang diungkap dalam laporan hasil audit investigatif yang tersembunyi di laci KPK.
Benar bahwa penilaian kerugian negara oleh BPK, seperti dikukuhkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, adalah bersifat final dan mengikat. Hanya pengadilan yang bisa mempermasalahkannya sebagai bentuk penghormatan atas supremasi hukum di negeri kita.
Jikapun kerugian negara pada akhirnya dibayarkan oleh Pemprov DKI, hal tersebut tidak serta-merta menghilangkan tindak pidana yang diduga telah terjadi. Kalau kita sepakat bahwa kejahatan korupsi adalah extra-ordinary crime, maka harus disadari bahwa kasus Sumber Waras adalah kasus hukum belaka, sehingga tidak seharusnya diselesaikan “secara adat” atau melalui Halal Bil Halal semata.
Ditulis oleh: Nico Andrianto, Alumni Crawford School of Public Policy, The ANU, Canberra, Australia.
Artikel ini ditulis oleh: