Yogyakarta, Aktual.com – Kontroversi keikutsertaan Freeport dalam sponsorhip ajang pameran seni rupa kontemporer terbesar se-Indonesia, Artjog 2016 yang memicu seruan pemboikotan, jadi pembelajaran semua pihak yang terlibat.
“Dari kasus Artjog, semoga terbangun budaya kritik di dunia seni Yogyakarta karena menurut saya kota ini paling sulit melakukannya, serba nggak enakan,” ujar Andrew Lumban Gaol, seorang seniman street art Yogyakarta kepada Aktual.com, Selasa (28/6).
Dia pun bandingkan kasus Artjog 2016 dengan even Bienalle di Sidney, Australia yang melibatkan satu perusahaan yang tersangkut kasus perusakan lingkungan. Dimana para seniman di ajang itu langsung berinisiatif memboikot even. Bahkan ada yang menarik karya yang bakal dipamerkan sebelum pembukaan.
Diakuinya, untuk komunitas seniman di Sydney memang sudah terbangun kebiasaan untuk benar-benar mempelajari MoU, mengetahui siapa sponsor dan penyelenggara. Sehingga para seniman yang terlibat event pameran juga bisa jeli melihat perusahaan mana saja yang diajak terlibat untuk sponsor.
Sedangkan kondisi itu, menurut Andrew, belum terbangun di Indonesia, khususnya Yogyakarta. “Itu patut jadi contoh, bagaimana seniman peka atas hal-hal teknis sponsorship sehingga tidak hanya asik pada karyanya saja,” himbaunya.
Pameran seni rupa Artjog sendiri dinilainya sebagai pagelaran yang sangat bagus, sebab mampu menghidupi banyak rangkaian pameran seni tidak resmi secara bersamaan. Di tanggal penyelenggaran Artjog, berbagai galeri seni kecil lain turut membikin pameran. Manfaatnya, tamu atau wisatawan melakukan semacam touring ke galeri-galeri, lonjakan harga karya seni terjadi termasuk kenaikan jumlah karya yang terjual.
“Inilah kenapa banyak juga seniman juga marah ketika Artjog dikritik, dianggap mengganggu dapur banyak orang,” kata Andrew.
Perihal dana Rp100 juta yang diberikan Freeport dalam sponsorship Artjog 2016, Andrew masih menyangsikan jumlah itu benar. Sebab dari pengakuan sejumlah panitia jumlahnya malah lebih hingga dua kali lipat mencapai Rp250 juta.
Kritik pun dilontarkan Andrew kepada Heri Pemad selaku Direktur Artjog. Dimana Heri dianggap melupakan ‘sepak terjang’ Freeport di Papua. Bagi Andrew, seruan pemboikotan jadi pelajaran buat Heri karena sudah menjual penderitaan orang lain.
Sebelumnya, kepada Aktual.com, Heri mengakui permintaan dana sponsorship dilakukan dengan kesadaran atas risiko yang muncul, termasuk seruan pemboikotan. Sebagai profesional, dia tegaskan bakal tetap bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Kata dia, sponsor atau siapapun tidak dapat mengintervensi isi atau konten pameran tahunan yang habiskan anggaran antara Rp2,5 hingga 4 miliar itu.
Dalih dia, pencarian sponsor untuk even seni rupa tidak mudah. Berbeda dengan even musik atau olahraga yang cenderung lebih mudah. “Saya alami sendiri selama sembilan tahun penyelenggaraan Artjog,” ucap Heri.
Heri menerima seruan pemboikotan Artjog kali ini sebagai pembelajaran agar ke depan panitia lebih berhati-hati memilih dan memilah sponsor, serta mengedepankan komunikasi semua pihak terlebih para seniman.
Diketahui, pada 16 Juni lalu, di tengah penyelenggaraan, puluhan massa yang menamakan diri Aliansi Boikot Artjog menyerukan pemboikotan pameran seni rupa itu dengan menggeruduk lokasi di Jogja National Museum.
Koordinator aksi Jeki Nurhidayat menuntut panitia mengembalikan uang sponsor. Alasan mereka, Freeport telah jadi pertambangan paling berdarah, berdosa serta keji dengan mengeksploitasi sumber-sumber daya alam Papua. Secara tidak langsung, Heri dianggap mencederai perasaan rakyat Papua karena mengikutsertakan Freeport kedalam sponsorship. (nelson nafis)
Artikel ini ditulis oleh:
Nelson Nafis