Jakarta, Aktual.com – Penurunan anggaran cost recovery dikhawatirkan akan berdampak langsung pada penurunan produksi migas Indonesia. Untuk itu, SKK Migas dituntut segera menentukan prioritas blok migas mana saja yang pantas untuk dikembangkan.

Anggota Komisi VII DPR Dito Ganindito, berharap, meskipun cost recovery turun, performa produksi harus tetap diupayakan untuk tidak menurun, salah satu caranya dengan menentukan prioritas blok migas mana yang di-carry over.

“Penurunan anggaran ini dilakukan karena ada kekhawatiran ‘gross revenue’ dibawah atau lebih rendah dari ‘cost recovery’. SKK Migas harus pandai-pandai mengatur mana yang jadi prioritas,” kata Dito, Jumat (1/7).

Politikus Golkar itu menjelaskan, Banggar DPR terpaksa menurunkan anggaran cost recovery untuk mencegah peningkatan defisit anggaran yang mencapai 3 persen.

“Defisit kita cukup tinggi untuk mencegah agar tidak melebar labih dari 3 persen biaya-biaya dipotong. Semua yang bisa di-carry over, dieksekusi karena kalau menggunakan langkah itu tidak ada biaya tambahan,” tambahnya.

Seperti diketahui, Badan Anggaran (Banggar) DPR menetapkan biaya cost recovery dalam APBN-P 2016 sebesar USD 8 miliar atau setara Rp 107 triliun, jumlah itu mengalami penurunan sebesar 30 persen dari jumlah semula USD 11,4 miliar.

Menurut ketua Banggar, Kahar Muzakir pemangkasan itu dilakukan dalam upaya mengatasi defisit anggaran. Penerimaan negara saat ini dari sektor hulu migas tidak mencapai target, terhitung per 31Mei 2016 penerimaan hanya mencapai USD 3,44 miliar, sedangkan target dalam APBN 2016 sebesar USD 12,3 miliar.

Namun Kepala SKK Migas, Amin Sunaryadhi mengakui bahwa kebijakan pemotongan cost recovery tersebut akan membawa dampak buruk bagi perkembangan migas di Indonesia.

“Ya kalau cost recovery nya dikurangi artinya banyak rencana pengeboran berkurang. kalau pengeborannya berkurang maka berresiko efek produksi, lifting nya berkurang,” pungkasnya.

 

Laporan: Dadang

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta