Jakarta, Aktual.com – Pemerintah mengklaim komitmen mendorong pengembangan energi yang bersih walaupun tetap mengunakan batubara sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Pemerintah berdalih bahwa kebijakan itu dilandasi dengan teknologi yang canggih, sehingga mengurangi dampak pencemaran zat buang dari pembakaran PLTU
“Tadi kita sampaikan bahwa coal akan kita dorong supaya ultrasuper critical technology yang diterapkan, Jawa yang mungkin akan dipenuhi dengan coal Powerplan akan dibatasi, dan keseluruhan nasional maksimal 50 persen dari Powerplan akan disupply dari coal,” kata Menteri ESDM, Sudirman Said World Energy Outlook 2016 di Jakarta (19/7).
Sebagai mana diketahui dalam proyek penyediaan tenaga listrik 35 GW mencantumkan porsi penggunaan batubara sebesar 50 persen, gas, 25 persen, dan sisanya adalah Energi Baru dan Terbarukan.
Namun fakta realisasi dilapangan ternyata banyak masyarakat yang telah sadar akan ancaman energi kotor yang diantaranya bersumber dari pembakaran batubara yang digunakan PLTU.
Aksi penolakan dari masyarakat pun terjadi yang di berbagai daerah hingga kerap memicu konflik antara pihak pembangkit, masyarakat dan pihak aparat
Sejumlah aktivis koalisi Break Free yang terdiri dari Greenpeace, WALHI dan JATAM menyampaikan bahwa polusi dari pembangkit listrik batubara telah menyebabkan 6.500 jiwa kematian dini per tahun di seluruh dunia, karena berbagai penyakit pernapasan.
“Setiap pembangkit listrik tenaga batubara membawa risiko kesehatan tinggi bagi rakyat Indonesia. Kematian terjadi lebih cepat dari waktunya akibat stroke, serangan jantung, kanker paru-paru, penyakit jantung dan pernapasan lainnya. Dampak kesehatan ini terutama mengancam anak-anak,” kata Arif Fiyanto Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Mereka prihatin dengan program pemerintah Indonesia dalam pengembangan pembangunan proyek 35.000 MW listrik yang diketahui lebih dari 50 persen menggunakan sumber energi berasal dari batubara, sementara sumber energi terbarukan hanya mendapat porsi sebesar 25 persen.
“Kita menagih janji untuk mengedepankan keselamatan rakyat dan mengatasi masalah iklim yang kian kronis,” kata Koordinator JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), Hendrik Siregar.
Sedangkan Juru Bicara Eksekutif Nasional WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Khalisah Khalid menambahkan bahwa mereka menuntut keseriusan dan tanggungjawab negara untuk segera berhenti memproduksi pembangunan yang berisiko tinggi baik bagi lingkungan hidup, keselamatan dan ruang hidup rakyat. (Dadangsah)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka