Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyimak pertanyaan anggota Komisi IV di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/6). Rapat kerja tersebut membahas Rancangan Kerja Anggaran Kementerian dan Lembaga (RKP K/L TA) dan RKP K/L TA 2017, serta APBN-P TA 2016. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/pd/16

Jakarta, Aktual.com – Membahas mengenai daging sapi memang tak akan pernah ada akhirnya. Sebelum Ramadhan, saat Ramadhan hingga menjelang Lebaran banyak pihak membicarakan mengenai daging sapi, khususnya mengenai stok dan harga.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, daging sapi menjelang Lebaran memang menjadi komoditas yang sulit dikendalikan harganya hingga mencapai Rp120.000-Rp150.000 per kiloghram, sekalipun sudah ada permintaan dari Presiden Joko Widodo yang minta agar harganya tak lebih dari Rp80.000 per kilogram.

Lebaran pun telah berlalu dan saat ini sektor peternakan itu kembali ramai diperbincangkan, namun kali ini soal impor jeroan sapi apakah perlu harus impor.

Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan sejumlah redaktur ekonomi dari berbagai media massa seminggu setelah Lebaran, menyatakan geram terhadap satu undang-undang dan satu peraturan Menteri Pertanian yang dinilai menghambat perkembangan peternakan yang memberikan keuntungan kepada pihak-pihak tertentu sehingga menyebabkan harga daging di pasaran menjadi lebih mahal.

“Ini tidak betul ada peraturan seperti ini dan harus segera direvisi, kalau tidak kita akan terus-menerus membeli daging dengan harga mahal dan tidak kompetitif,” kata Presiden Joko Widodo sambil menunjukkan dua foto kopi peraturan itu kepada pers di Istana Negara Jakarta.

Presiden sendiri tidak bersedia menyebutkan peraturan apa yang dimaksud. “Nanti biar Pak Menteri Pertanian yang menjelaskan,” katanya.

Dikatakan, saat ini penguasaan peternakan, khususnya sapi dan daging sapi, sangat luar biasa karena sudah dikuasai oleh sejumlah pihak mulai dari hulu ke hilir hingga ke lapak.

Saat ini banyak peraturan yang menurut Presiden sangat tidak masuk akal, seperti adanya ketentuan larangan impor sapi siap potong, sementara sapi bakalan siap impor.

Presiden mengatakan dirinya akan merevisi peraturan-peraturan yang menghambat perkembangan peternakan di Indonesia sehingga untuk mencegah monopoli pihak tertentu sehingga bisa terjadi suatu persaingan yang adil.

Jokowi juga mempertanyakan alasan dilarangnya impor jeroan sapi karena dianggap berasal dari ternak sapi yang tidak sehat di negara asalnya.

“Lha wong jeroan yang diimpor juga berasal dari sapi yang kita impor dari negara sama. Masak di negara asal jeroan mengandung penyakit lalu tiba di Indonesia tidak mengandung penyakit? Aneh-aneh saja,” kata Jokowi dengan nada geram.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan ketentuan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58/Permentan/PK.210/11/2015 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

Apabila dua peraturan tersebut direvisi maka sejumlah harga sapi, daging, dan jeroan bisa mengalami penurunan cukup signifikan. Dampak adanya revisi maka harga sapi siap potong yang saat ini sebesar Rp27.000 per kilogram dan sapi bakalan yang saat ini Rp40.000 per kilogram akan turun masing-masing 33 persen.

Demikian juga harga daging sapi di pasaran yang saat ini mencapai Rp90.000 per kilogram-Rp120.000 per kilogram, dengan adanya revisi dua peraturan bisa turun menjadi Rp75.000 per kilogram.

Untuk harga jeroan yang sekarang ini harganya Rp60.000 per kilogram bisa turun menjadi Rp20.000 per kilogram-Rp30.000 per kilogram jika peraturan itu direvisi.

Anggota Komisi IV DPR Hermanto menginginkan pemerintah menghentikan impor jeroan sapi karena langkah tersebut dinilai sebagai sebuah langkah mundur dalam pengembangan sektor pertanian dan perdagangan.

Impor jeroan itu merugikan peternakan rakyat, berdampak negatif terhadap kesehatan serta dapat merendahkan martabat bangsa karena pada kenyataannya jeroan sapi di luar negeri dikonsumsi sebagai pakan ternak dan hewan peliharaan.

Fraksinya setuju dengan rencana pemerintah untuk menurunkan harga daging sapi hingga mencapai Rp. 80.000 per kilogram. Namun, bukan dengan cara mengimpor jeroan yang diharapkan menjadi substitusi bagi masyarakat menengah ke bawah yang tidak dapat membeli daging sapi.

Untuk itu pihaknya juga menawarkan solusi untuk mengatasi kenaikan harga daging dengan mendorong pemerintah untuk melanjutkan program swasembada daging sapi, pengembangan peternakan rakyat, dan memperbaiki sisi permintaan dari masyarakat.

Kebijakan yang digulirkan harus kompehensif, yaitu tidak hanya sisi pasokannya saja yang dibenahi, tapi permintaannya juga perlu diperhatikan. Misalnya, adanya beragam substitusi daging sapi yang sehat dan bergizi, seperti daging ayam, telur.

Sedangkan kebijakan lainnya antara lain adalah melalui program diversifikasi melalui swasembada protein karena sumber protein bukan hanya dari daging sapi tetapi juga bisa dari ikan atau lainnya.

Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) menilai putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi terhadap UU no 41 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan akan mengatasi kontroversi.

“Kontroversi yang berkembang di masyarakat terkait rencana pemerintah membuka impor daging sapi dan kerbau dari negara belum bebas penyakit menular,” kata Ketua PPSKI Teguh Boediyana.

Oleh karena itu pihaknya mengimbau kepada Mahkamah Konstitusi untuk segera menetapkan atau mengeluarkan putusan uji materi (judicial review) atas pasal 36 UU no no 41 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang no 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan.

Pasal yang diuji materi tersebut terkait ketentuan dapat memasukkan hewan atau produk hewan yang tidak didasarkan negara tapi atas dasar zona.

Apapun putusan MK atas uji materi tersebut akan dapat mengakhiri kontroversi antara lain rencana pemerintah dalam upaya menurunkan harga daging sapi memutuskan untuk mengimpor daging sapi/kerbau dari negara yang statusnya belum bebas penyakit menular hewan utamanya penyakit mulut dan kuku (PMK).

Semua pihak tentunya mengharapkan karut marut masalah daging sapi ini segera berakhir sehingga pemerintah dapat lebih konsentrasi untuk mewujudkan keinginan Presiden Jokowi agar tahun 2026 Indonesia telah swasembada daging sapi.(Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid