Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Wiranto memberikan sambutan saat mengunjungi Kantor Fraksi Hanura di DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (20/8/2015). Kedatangan Wiranto untuk bersilaturrahmi dan memberikan pesan kepada sejumlah anggota DPR RI Fraksi Hanura. Wiranto berpesan, Kalau sudah diberikan mandat, harus berikan tanggung jawab ke rakyat. Saya yakin walaupun jumlah kita sedikit, tapi harus punya makna yang besar terhadap kepentingan rakyat dan bangsa.

Jakarta, Aktual.com – Masuknya nama Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) pada perombakan Kabinet Kerja Jilid II, mengingatkan publik pada jabatan yang sama yang pernah disandangnya pada era Presiden Abdurrahman Wahib (Gus Dur).

“Beliau pernah menjadi Menhankam/Pangab dan pernah menjadi Menkopolhukam,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengenai alasan penunjukkan Wiranto sebagai Menkopolhukam di Istana, Jakarta, Rabu (27/7).
Pada awal pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, nama Wiranto sebenarnya sempat dikabarkan akan menjadi Menkopolhukam. Saat itu, namanya bersaing ketat dengan Luhut Binsar Pandjaitan yang menjadi penasehat Tim Transisi. Dengan berbagai pertimbangan, Jokowi pada akhirnya lebih memilih Luhut.
Meski Ketua Umum Hanura gagal menjadi menteri, namun Hanura mengirimkan dua kadernya di kabinet. Masing-masing Yuddy Chrisnandy sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Menteri Perindustrian Saleh Husin.
Kini, hampir dua tahun pemerintahan Jokowi, Wiranto benar-benar menduduki jabatan Menkopolhukam yang pernah disandangnya 16 tahun silam. Dalam pengumuman yang disampaikan Presiden, Wiranto dipercaya untuk mengkoordinasikan masalah politik, hukum dan keamanan.
Namun masuknya Wiranto di kabinet memakan korban, dua kadernya yakni Yuddy dan Saleh harus tergusur. Dua tergusur, satu masuk.
Terpilihnya Wiranto sebagai Menkopolhukam pada reshuffle Kabinet Kerja Jilid II mendapatkan protes keras dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/7), Koordinator KontraS Haris Azhar menyebut Wiranto sebagai ‘Stok Lama Beraroma Orde Baru’.
Dibeberkan sejumlah praktik pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Diantaranya Peristiwa Penyerangan 27 Juli, Tragedi Trisakti Mei 1998 dan Tragedi Semanggi I & II. Selain itu juga penculikan dan penghilangan aktivis pro-demokrasi 1997/1998, Biak Berdarah serta sebuah laporan khusus setebal 92 halaman dari Badan Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bawah mandat Serious Crimes Unit.
“Wiranto gagal untuk mempertanggungjawabkan posisi sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi di Timor Leste untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan gagalnya Wiranto dalam menghukum para pelaku,” kata Haris mengutip laporan PBB dimaksud.
Laporan itu pula yang disebutnya menyulitkan Wiranto bergerak masuk ke dalam yurisdiksi internasional, salah satunya adalah Amerika Serikat (US Visa Watch List) ditahun 2003.
Disinggung bahwa hari ini merupakan hari yang bertepatan dengan 20 tahun peringatan berdarah 27 Juli. Dimana diketahui Wiranto mendapatkan posisi strategis pasca penyerbuan kantor PDI. Posisinya naik posisi menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan pangkat jenderal bintang empat.
“Keuntungan-keuntungan dari situasi keamanan dan politik rezim selalu memberikan ruang gerak kepada Wiranto untuk mengambil keputusan-keputusan yang berujung pada skema impunitas,” jelas Haris.
Dengan catatan-catatan tersebut, KontraS menyampaikan pertanyaan kepada Presiden dan Menteri Sekretaris Negara. Dimana letak profesionalitas, nyata, dirasakan masyarakat, teruji berpengalaman apabila anda baik terpaksa dan suka rela memilih nama Wiranto sebagai pucuk menteri strategis Kabinet Kerja kali ini?
“Soliditas tidak akan terbangun di atas figur-figur rapuh yang seiring waktu harus mempertanggungjawabkan tindakannya ketika ia masih menjabat posisi-posisi penting di Republik. Konsep retailer cenderung menguat, nampaknya yang solid adalah elite,” tuturnya.
KontraS, lanjut Haris, meminta dukungan publik untuk bersolidaritas kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM untuk semangat, membangun strategi dan siasat bahwa keadilan, bahwa negara harus dan tetap bertanggung jawab membawa dan berpihak kepada keadilan.
KontraS juga meminta pemerintah memulihkan mereka yang dicabut haknya, mereka yang terkena stigma dan meminta memastikan individu-individu pelanggar HAM akan dihukum sesuai dengan norma hukum yang berlaku di Republik Indonesia.
(Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan