Jakarta, Aktual.com – Selepas Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan menggantikan Bambang Brodjonegoro, segudang ‘pekerjaan rumah’ masih menanti. Yang terpenting terkait reformasi birokrasi yang saat ini masih lamban.
Menurut Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, Menkeu baru saat ini harus mampu mengatasi problem institusional dan kelembagaan. Sebab, problem besar di sektor ekonomi adalah kelambanan kinerja birokrasi atau birokrasi yang tidak efektif.
“Berapapun anggarannya kalau birokrasinya tidak efektif maka tidak akan menjadi stimulus fiskal. Di era Bambang, kondisi itu belum terselesaikan,” ungkap Enny di Jakarta, Kamis (28/7).
Untuk mengefektifkan kinerja birokrasi tersebut, kata Enny, maka harus membuat perubahan struktural. Reformasi struktural itu harus betul-betul konkrit diterjemahkan dalam policy anggaran.
“Jadi reshuffle itu intinya harus mampu menyelesaikan problem institusional. Jika itu teratasi, maka reshuffle kabinet atau reposisi kabinet ini benar-benar menjawab persoalan ekonomi kita,” terang dia.
Masalah eksternal kelembagaan juga harus cepat diselesaikan. Yang paling urgent tentu saja terkait peningkatan daya beli yang masih menurun tajam. Pasalnya, konsumsi rumah tangga menurun terus dan tidak pulih dari lima persen.
Jika daya beli harus naik, maka harus ada pendapatan. Pendapatan ada, jika ada pekerjaan, dan pekerjaan bisa didapat jika tersedianya lapangan pekerjaan. “Ini ‘PR’ yang harus diselesaikan pemerintah,” ungkap dia.
Menurut Enny, kondisi fiskal saat ini masih kedodoran. Sehingga, kuncinya bukan sebatas menteri itu dipercaya pasar, melainkan bagaimana anggaran yang ada itu untuk bisa menggerakkan sektor riil.
“Bukan hanya mendapat kepercayaan pasar, pasar keuangan, pasar modal, tapi perlu ada kebijakan reformasi struktural. Selama ini tidak pernah terjadi,” papar dia.
Selain itu, industrialiasi juga penting. Menurut Enny, ketika ada depresiasi rupiah, mestinya menjadi momentum untuk mampu mendongkrak ekspor. Namun, ketika ekspor Indonesia masih terjerembab ekspor komoditas, maka selamanya akan menjadi persoalan. Makanya, ketika Juni lalu neraca perdagangan surplus, tapi ekspor malah negatif.
“Jadi itu semu. Mestinya, bisa memanfaatkan kondisi perekononian global yang belum pulih. Sehingga perlu ada policy agar ada kebijakan yang tepat untuk hilirisasi industri. Tanpa itu, hanya akan jadi penonton terus,” pungkas dia.
Laporan: Bustomi
Artikel ini ditulis oleh: