Jakarta, Aktual.com – Kudeta militer yang gagal di Turki bulan Juli 2016 telah mengejutkan dunia. Presiden Recep Tayyip Erdogan berkat para pengikutnya berhasil menggagalkan kudeta yang tidak populer itu. Tetapi upaya kudeta ini justru menampilkan tokoh Islam lain, bukan tokoh sekuler. Tokoh yang dituduh Erdogan sebagai dalang kudeta itu adalah Fethullah Gulen.
Ini hal yang menarik. Terkait kudeta militer, biasanya militer Turki tampil sebagai pengusung nilai-nilai sekularisme, dan berhadapan dengan pemerintah sipil yang condong mengusung nilai-nilai keagamaan. Erdogan dengan partainya, Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP), dianggap mengusung Islam politik.
Namun, dalam gerakan sapu bersih yang dilakukan Erdogan pasca kudeta, yang disasar ternyata bukanlah tokoh-tokoh sekuler, tetapi tokoh ulama Islam. Gulen dianggap tokoh yang berbahaya. Visinya tentang Islam dipandang telah mempengaruhi banyak orang di pemerintahan, angkatan bersenjata, dunia pendidikan, dunia hukum, dan sebagainya.
Bukan kali ini saja Gulen dituding hendak menggulingkan Erdogan. Beberapa tahun lalu, saat skandal korupsi dan suap menjerat orang-orang dekat Erdogan, nama Gulen kembali dituduh sebagai penggerak penyidikan polisi dan kejaksaan saat itu. Siapakah sebenarnya Fethullah Gulen, yang mengasingkan diri dan kini tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat ini?
Muhammad Fethullah Gülen atau yang akrab disapa Hocaefendi, lahir di desa Korucuk, Erzurum – Turki Timur pada 27 April 1941. Ia adalah sosok ulama kharismatik dan paling berpengaruh di Turki, bahkan di seluruh dunia saat ini. Pada 2008, majalah Amerika, Foreign Policy, menobatkannya sebagai orang nomor satu dari 100 tokoh paling berpengaruh di dunia.
Leluhur Gülen berasal dari distrik Ahlat (Khalat) yang bersejarah dan termasuk dalam wilayah provinsi Bitlis yang terletak di kaki gunung. Pada zaman dulu, keturunan Nabi Muhammad SAW ada yang berhijrah ke Bitlis untuk menyelamatkan diri dari kezaliman penguasa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah. Di tempat itu mereka menjadi pembimbing spiritual bagi masyarakat, sehingga semangat ke-Islaman merasuk ke dalam jiwa suku-suku Turki yang tinggal di kawasan ini.
Gülen lahir di keluarga yang sangat agamis dan sarat akan semangat keislaman.
Ayah Gülen, yang bernama Ramiz Gülen, semasa hidupnya terkenal sebagai pribadi yang berpengetahuan tinggi, taat, dan cerdas. Ibu Gülen bernama Rafiah Hanim. Dia adalah seorang pengajar al-Quran bagi kaum wanita di desanya dan terkenal dengan perangainya yang sopan dan menyukai kebaikan.
Dalam keluarga seperti itulah Gülen tumbuh dewasa. Sejak dini Ia telah belajar membaca al-Qur’an dari ibundanya. Ketika usianya baru menginjak empat tahun, Muhammad Fethullah Gülen telah mampu mengkhatamkan al-Qur’an hanya dalam waktu satu bulan.
Jauh sebelum dia dilahirkan, rumah yang didiami Fethullah Gülen telah menjadi tempat berkunjung bagi banyak ulama yang tinggal di kawasan tersebut. Ramiz Gülen ayahnya memang diketahui sangat mencintai para ulama dan gemar bersilaturahmi dengan mereka, hingga hampir tiap hari ada saja ulama yang dijamu di rumahnya.
Itulah sebabnya sejak Fethullah Gülen masih sangat belia, Ia telah terbiasa berkumpul bersama para ulama sampai akhirnya ia pun menyadari bahwa dirinya tumbuh di dalam sebuah keluarga, yang dihiasi dengan ilmu dan ajaran tasawuf.
Pendidikan dasar Gulen dimulai sejak ia tinggal di daerah asalnya Erzurum. Sejak belia ia sudah menghafal al Quran dan belajar Ilmu agama di sejumlah madrasah. Karier pertamanya sebagai seorang da’i bahkan telah dimulai sejak usia 14 tahun. Ia juga secara otodidak mempelajari berbagai disiplin ilmu lain, terutama ilmu pengetahuan alam dan sosial, seperti: fisika, kimia, biologi, geografi, filsafat, juga kesusastraan Timur dan Barat.
Gulen banyak disebut terpengaruh dengan ide-ide Said Nursi, seorang ulama Kurdi yang menulis Risale I-Nur, sebuah tafsir Al Quran setebal 6.000 halaman, yang ditulis antara 1910-1950. Inti dari buku ini adalah Said Nursi yakin bahwa ilmu pengetahuan dan logika adalah jalan yang harus dijalani di masa depan.
Dia juga mengusulkan pengajaran agama di sekolah-sekolah sekuler dan pelajaran sains di sekolah-sekolah keagamaan. Ajaran Said Nursi inilah yang menjadi inspirasi gerakan iman, yang memainkan peranan penting dalam kebangkitan Islam di Turki.
Hakan Yavuz, pakar Islam dari Universitas Utah, AS mengatakan, Gulen dalam pemikirannya adalah seorang nasionalis Turki. Gulen mengkritik transformasi Turki atau komunitas Muslim lainnya di bawah tokoh-tokoh semacam Kemal Ataturk atau Reza Shah Pahlevi di Iran. Namun, di sisi lain, Gulen juga konsisten menolak fundamentalisme Islam seperti yang dipraktikkan Taliban atau Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Profesor Sayyid Abd al-Bari dari Universitas Al Azhar, Kairo, dalam wawancara dengan harian Zaman (2015), menganggap Gulen adalah sosok ulama yang lewat ajarannya yang damai, dia berusaha maksimal menghormati kemanusiaan.
Gulen juga berulang kali menyatakan bahwa dia sangat mempercayai ilmu pengetahuan, dialog antaragama dan demokrasi multi-partai. “Belajar fisika, matematika dan kimia sama dengan menyembah Tuhan,” ujar Gulen berulang kali dalam berbagai dakwahnya.
Gerakan serta pemikiran Gulen telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Ajarannya tentang Hizmet (pelayanan terhadap umat manusia), telah menarik perhatian sejumlah pendukungnya di Turki, Asia Tengah, juga tokoh-tokoh penting lainnya di berbagai penjuru dunia.
Gülen dipandang mengajarkan Islam Sunni-Hanafi yang moderat, mirip dengan pengajarannya Said Nursi. Gülen mengutuk terorisme, mendukung dialog lintas-agama, dan memprakarsai dialog semacam itu dengan Vatikan, gereja Ortodoks, dan beberapa organisasi Yahudi.
Namun dalam konteks Turki, Gülen masih dianggap sebagai sosok konservatif dan taat agama. Ia mendukung hak perempuan untuk memakai hijab, dan para pengikutnya yang perempuan biasanya memang mengenakan hijab.
Watak jaringannya yang privat dan independen menimbulkan kecurigaan dari beberapa penganut sekuler Turki, yang ketakutan dan menganggapnya sedang membangun kekuatan politik. Pada 16 Juli 2016, terjadi upaya kudeta militer di Turki, dan oleh Erdogan, penguasa yang Islamis, Gülen disebut-sebut sebagai tokoh utama dibalik aksi kudeta ini.
Padahal baru tiga tahun lalu, Gulen masih merupakan karib sekaligus sekutu Erdogan, yang saat itu masih menjabat perdana menteri. Gulen memainkan peran penting terkait mencuatnya karier politik Erdogan. Para pendukung Gulen, yang banyak bekerja di institusi kehakiman dan kepolisian, mendukung upaya menyingkirkan musuh pemerintah.
Namun, keduanya menjadi seteru besar, setelah pada 2013, Erdogan dan Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP) yang berkuasa menuding Gulen merancang tuduhan korupsi. Kasus korupsi itu menjerat sejumlah pejabat senior dan putra Erdogan, Bilal.
Menyusul dugaan kasus korupsi itu, pemerintahan Erdogan menggelar pembersihan untuk menyingkirkan para pendukung Gulen dari posisi kemiliteran, polisi dan kehakiman. Para jurnalis dan media massa yang diduga memiliki keterkaitan dengan Gulen juga menjadi sasaran pembersihan. Pada Maret 2013, pemerintah Turki mengambil alih harian terbesar negeri itu Zaman, setelah menempatkan perusahaan induk koran itu di bawah pengawasan negara.
Pasca-upaya kudeta Juli 2016, kembali puluhan ribu orang yang dianggap pengikut Gulen ditangkap atau dipecat dari pekerjaan mereka. Tetapi tuduhan keterlibatan kudeta ini berlebihan dan patut diragukan. Erdogan tampaknya panik, dan memanfaatksan momentum upaya kudeta untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Sampai-sampai kedutaan besar Turki di Jakarta meminta pemerintah Indonesia, untuk menutup atau menghentikan aktivitas sejumlah sekolah Indonesia yang dianggap menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan Gulen. Pemerintah RI dengan tegas menolak permintaan Turki karena sekolah-sekolah itu menggunaksn kurikulum Indonesia, dan tidak ada kaitannya dengan kudeta atau terorisme. ***
Artikel ini ditulis oleh: