Anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supraktino (kanan) dan Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati (tengah) menjadi pembicra dalam acra diskusi di Jakarta, Kamis (7/1/2016). Diskusi tersebut membhasa tema "Realisasi APBN 2015" diskusi ini digelar usai pemerintah mengumumkan realisasi pelaksanaan APBN-P 2015 yang merupakan anggaran pertama pemerintah Presiden Jokowi.

Jakarta, Aktual.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan reshuffle Kabinet Kerja tahap II, dengan mengeser dan mencopot beberapa menteri.

Namun di antara pos-pos kementerian, ternyata posisi Menteri BUMN Rini Soemarno masih tetap di posisinya. Padahal, sebelumnya Rini banyak disorot karena kebijakannya yang tidak sesuai dengan semangat Nawa Cita dan Tri Sakti. Bahkan, dia sendiri masih berseteru dengan DPR, dan hingga kini masih belum bisa masuk ke DPR, setelah ada Pansus Pelindo II.

Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati sangat menyayangkan posisi Menteri BUMN tak tersentuh. Sehingga posisi Rini Soemarno tetap aman. “Saya kagetnya bukan nama-nama baru yang jadi menteri. Justru sosok Bu Rini kenapa tidak kena reshuffle? Itu yang mengagetkan,” ujar dia, di Jakarta, Kamis (27/7)

Apalagi masalah utama dari Menteri BUMN itu, secara politik sangat bermasalah, ketika Rini masih dilarang rapat dengan DPR, maka akan mengganggu keselarasan kinerja BUMN itu.

“Mestinya itu menjadi catatan dari Pak Jokowi. Nah, kalau Rini masih di (Kementerian) BUMN dan DPR ngotot tidak mau rapat dengan dia. Itu masalah besar. Jangan sampai koordinasikan dengan BUMN itu menjadi terganggu,” jelas Enny.

Dia sendiri tidak mau menduga-duga, kenapa Presiden tidak mencopotnya. Padahal selain masalah tersebut, masih banyak persoalan lain yang cukup mengganggu.

“Jadi, Menteri Rini juga suka gaduh. Kebijakannya lumayan kontroversial. Salah satunya utang tiga bank BUMN dari CDB (China Development Bank),” ujarnya.

Namun demikian, setelah Rini tetap di posnya, maka ke depan, dia harus betul-betul bersikap obyektif dann menjadi agent of development di tengah perlambatan ekonomi.

Terutama soal PMN (Penyertaan Modal Negara). Di bawah Rini, BUMN justru didorong untuk selalu minta PMN.

“Mestinya, mampu meningkatkan kinerja BUMN. Serta BUMN juga harus bisa memanfaatkan aliran modal untuk meningkatkan kapasitasnya,” papar Enny.

Rini juga dikritik terkait kebijakan privatisasi BUMN. Karena selama ini, Rini identik dengan privatisasi. “Hati-hati dalam kebijakann privatisasi BUMN ini. Jangan sampai privatisasi itu sembarangan. Sehingga malah BUMN strategis diprivatisasi. Kalau tidak strategis mungkin bisa. Tapi mestinya jangan (privatisasi),” tegas Enny.

Sejauh ini, kata dia, banyak BUMN yang tidak mengurus aspek strategis. Padahal sektor strategis ini mestinya betul-betul dikembangkan oleh BUMN. “Kalau itu komerisal, biarin saja swasta yang main. Cuma sayangnya, selama ini Menteri BUMN belum mlakukan itu,” pungkas dia. (Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid